Hari itu, Shannon mengantar saya dan Noah mengunjungi National Gallery of Australia. Karena Shannon ada pekerjaan yang harus dilakukannya maka kunjungan ke galeri yang berlokasi di Parkes, Canberra menjadi acara 'kencan' saya dan Noah.
Saya senang galeri ini memperbolehkan stroller bayi masuk sehingga lebih mudah bagi saya menikmati aneka karya seni tanpa harus menggendong Noah yang sudah makin berat. Noah pun terbilang anteng bila duduk di stroller yang bergerak.
Kami menjadi salah satu pengunjung pertama hari itu karena masuk tepat saat galeri baru buka, yaitu pukul 10 pagi. Petugas pintu masuk mengarahkan kami untuk mendaftar di meja registrasi. Setelah nama kami dicatat, kami bisa langsung menikmati berbagai karya seni tanpa harus membayar apapun. Yap, masuk ke galeri seni ini gratis, namun ada pameran-pameran atau ekshibisi-ekshibisi tertentu yang tentunya mengharuskan membeli tiket masuk.
Saya pun langsung mendorong Noah menuju lantai 2, lantai di mana karya Yayoi Kusama, The Spirits of the Pumpkins Descended Into the Heaven dipamerkan. Saya memprioritaskan ini karena berdasarkan pengalaman saya melihat karya Yayoi Kusama di tempat-tempat lain selalu dipenuhi pengunjung.
Contohnya saya pernah mengantri selama hampir 1,5 jam untuk bisa menikmati Infinity Mirrored Room karya Yayoi Kusama di Museum MACAN Jakarta, selama 30 detik saja! Selain itu, saya pernah juga membatalkan melihat karya Yayoi Kusama di The Broad Museum, Los Angeles, Amerika Serikat karena nggak sabar nunggu antrian yang lama banget.
Nggak mau mengalami kejadi serupa maka saya putuskan mengunjungi karya Yayoi Kusama ini pertama kali. Mumpung masih pagi dan belum banyak pengunjung. Keputusan yang tepat karena saat saya sampai di lokasi, tidak ada satu orangpun di sana. Ini enaknya bila berkunjung bukan pada akhir pekan. Puas menikmati karya seni dan foto-foto.
Tapi pergi dengan bayi 11 bulan sama saja dengan pergi sendirian, susah untuk mendapatkan foto diri yang bagus. Apalagi saya bukan penggemar selfie stick, jadi ya foto cuma mengandalkan kamera depan dengan angle dan frame yang terbatas.
Setelah beberapa kali mengambil gambar, saya membebaskan Noah dari stroller. Tentunya dengan tujuan bisa mengambil foto wefie dengannya. Meskipun hasilnya cuma ada wajah kami berdua dan latar belakang polkadot hitam di atas dinding kuning. Secara estetika kurang indah tapi ya sudahlah ya...
Selanjutnya saya meletakkan Noah di lantai dengan tujuan mengambil foto Noah sendiri. Noah yang seperti menemukan kebebasannya merangkak ke sana kemari, saya pun dengan cepat mengambil fotonya berkali-kali.
Ketika saya sedang melihat handphone untuk mengecek gambar, hanya dalam beberapa detik Noah sudah hilang dari hadapan saya dan yang saya dengar selanjutnya adalah "sreeeek"!
Saya menengok ke arah Noah yang sedang memegang robekan dari salah satu polkadot hitam. Ya Tuhan saya panik melihatnya. Langsung saya gendong Noah dan mengambil robekan hitam itu dari tangannya. Selanjutnya, mata saya sibuk mencari-cari di mana sambungan si polkadot. Atau polkadot yang mana yang sukses dirusak Noah? Mata saya akhirnya menangkap sekitar 1/10 polkadot yang masih menempel di dinding.
Sambil terus menggendong Noah, saya berjongkok dan berusaha menempelkan kembali robekan yang tadinya di tangan Noah ke dinding. Namun sekeras apapun usaha saya untuk membuat polkadot tersebut terlihat utuh, tetap saja sambungan robekan itu terlihat nyata. Dengan perasaan tidak keruan, saya keluar dari area instalasi tersebut.
Menit-menit selanjutnya saya dihantui oleh perasaan galau. Haruskah saya melaporkan kejadian ini atau pergi saja meninggalkan TKP karena toh tidak ada siapapun di tempat tersebut. Sungguh perasaan yang menyiksa!
Masih belum tahu keputusan apa yang akan saya ambil, tahu-tahu saya sudah ada di lantai 1 dan pintu keluar di depan saya. Namun saya merasa berat meninggalkan galeri ini. Akhirnya saya putuskan untuk menghubungi Shannon dan menjelaskan apa yang terjadi. Shannon menyarankan saya untuk jujur dan melaporkan hal tersebut kepada petugas.
Sejujurnya saya setuju dengan Shannon karena kalau tidak saya pasti sudah kabur dari tadi. Namun saya tidak yakin bahwa saya siap dengan konsekuensinya. Bagaimana bila saya harus membayar ganti rugi di luar kemampuan saya? Atau mungkin lebih baik saya membeli lakban hitam dan mengguntingnya menjadi lingkaran untuk menggantikan si polkadot yang rusak? Aduh, repot banget! Di mana pula saya bisa menemukan lakban hitam?
Akhirnya setelah galau selama sekitar 1 jam, saya kembali ke TKP dan si polkadot tersebut masih terlihat rusak (ya iyalah!). Namun setelah saya edarkan pandangan saya, ada beberapa polkadot lain yang sudah meletek dari dinding juga. Hmm.. Mungkin itu dia kenapa Noah bisa menariknya hanya dalam hitungan 2-3 detik. Bisa jadi si polkadot tersebut memang sudah meletek. Apapun itu, tetap saja tidak membenarkan tindakan perusakan dan kabur.
Momen yang menegangkan itu pun terjadi. Saya keluar memanggil petugas museum dan berkata kepadanya bahwa bayi saya merusak salah satu instalasi seni yang ada. Petugas dengan cepat mengikuti saya ke bilik TKP. Saya kemudian menunjukkan kepadanya kerusakan yang terjadi. Dia berjongkok, mengamati dan memegangnya.
Jantung saya berdegup kencang, menunggu vonis apa yang akan diberikan oleh sang petugas.
Sejurus kemudian petugas pria berwajah India tersebut berkata, "Tidak apa-apa." Saya kaget mendengar perkataannya, "Anda yakin?" tanya saya. "Ya tidak apa-apa. Jangan khawatir," tambahnya.
Ya Tuhaaan, lega luar biasa rasanya mendengar hal tersebut. Rasanya seperti divonis bebas dalam ruang pengadilan (meskipun saya tidak pernah mengalaminya). Saya pun mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada petugas tersebut dan dengan cepat meninggalkan lokasi.
Moral dari cerita ini adalah Noah tidak salah. Yang salah adalah saya karena melepaskannya dari stroller. Seharusnya saya sudah bisa menduganya. Untuk anak seaktif Noah, tentu saja dia tidak akan tinggal diam dan tentu saja dia akan penasaran untuk memegang dan memasukkan ke dalam mulut benda apapun yang menarik perhatiannya.
Moral lainnya adalah kejujuran tetap yang terbaik. Karena kalau seandainya saya tidak jujur, mungkin sampai sekarang (sekitar satu bulan setelah kejadian) saya masih akan dihinggapi perasaan bersalah yang tentunya bukan hal yang baik untuk kejiwaan saya. Pppffffuuuih.
Tuhan memang baik!