EuroTrip: Sakau Nasi
Dari
jauh-jauh hari yang ditakutkan oleh Mira tentang perjalanan kami ke Eropa
adalah nasi. Bukan takut nyasar, bukan takut kedinginan dan bukan takut ketemu
orang jahat. Bukan itu semua. Namun ketakutan terbesar Mira adalah tidak bisa
makan nasi setiap hari!
Maklum! Mira ini adalah “anak
nasi”. Dalam sehari 3 kali dia makan nasi. Bawaannya cranky ketika dia belum
makan nasi. “Gue sanggup nggak yah, kalau nggak setiap hari makan nasi?”
tanyanya dengan muka khawatir di suatu malam pada saat kami membahas rencana
keberangkatan kami ke Eropa.
Beberapa waktu dari ucapan
tersebut, Mira mendapatkan solusi. “Teman gue akan meminjamkan travel cooker ke
gue. Jadi nanti kita bisa masak nasi,” ucapnya berbinar, seolah dia berhasil
menemukan solusi dari permasalahan super berat. Selanjutnya Mira menugaskan
kami untuk masing-masing membawa beras 1 kg. Saya protes! “Ribet banget. Gue
bawa beras seadanya yang gue punya aja, deh,” jawab saya yang memang suka
menyimpan beras di kosan. Feny juga menolak dengan alasan dia sudah punya kentang
dan mie instan. Mira pun tidak bisa memaksa kami.
Akhirnya tiba hari
keberangkan kami ke Eropa. Mira tentu menjadi orang yang paling banyak membawa beras
di antara kami. Bukan hanya itu saja, Mira pun sudah siap dengan rendang kering
sebagai teman makan nasi. Meskipun bukan “anak nasi” seperti Mira, saya setuju
dengan ide Mira ini. Karena saya yakin, beberapa hari makan makanan Eropa akan
bikin saya kangen dengan makanan cita rasa Indonesia. Saya pikir pas nih, mulai
makan nasi rendang setelah 3 – 4 hari makan makanan Eropa.
Tapiiii… boro-boro 3 – 4 hari.
Hari kedua, di pagi pertama di Eropa, saat saya masih ngulet di atas bunk bed
di hostel kami di Berlin, saya sudah mendengar suara bunyi-bunyian sendok
mengaduk panci. Rupanya Mira dibantu Feny sudah asyik masak nasi. Busyet! Saya
bahkan belum kangen dengan nasi. Hahahaha…
Nasi yang menurut saya
seharusnya dimakan saat kami sakau saja, menjadi makanan wajib Mira nyaris
setiap hari. Bahkan Mira suka menggabungkan nasi dengan mie dan kentang instan.
Ckckckck… Sangat berkarbohidrat. “Gue butuh makanan kayak gini untuk stamina,
jadi kuat jalan seharian,” Mira membela diri. Alhasil perbekalan nasi kami
hanya bertahan sampai kota kedua, yaitu Paris.
Giliran sampai di kota
ketiga, Barcelona, Mira kembali sakau nasi. Suatu malam, setelah makan McDonalds, Mira langsung masuk ke sebuah restoran Taiwan yang kami
lewati begitu melihat ada gambar nasi di menu yang dipajang di depan resto.
Mira memesan nasi goreng. Mira pun pulang ke hotel dengan bungkusan makanan
yang membuatnya senang.
Di hari terakhir di
Barcelona, kami sempat mampir ke restoran yang dekat area hotel kami, Can
Fabregas Café Mollet. Lagi-lagi, di sini Mira memesan nasi. Saya pun demikian,
karena akhirnya saya sakau nasi juga. Hahahaha.. Sebenarnya di resto tersebut
tidak ada menu nasi tapi mereka mau memasakkan nasi ketika kami memintanya.
Lagi-lagi, kebaikan hati orang Barcelona :)
Setelah itu, kami bertiga
baru kembali bertemu nasi setelah sampai di kota kelima, Praha. Dari Bandara,
sebelum masuk hostel, kami mampir ke Chinese Restaurant. Di sini lah saya baru berasa
makan. Nasi goreng ayam (yang warnanya putih, tidak pakai kecap dan saus) dan
sayur brokoli-nya lumayan berasa di lidah. Ya, bumbunya tidak seberani seperti
makanan di Indonesia namun cukup mendekati. Saya saja girang bisa makan makanan
ini. Apalagi Mira, “si anak nasi”. Hehehe…
Harga nasi goreng ayam ini 69 CZK. Lumayan lah rasanya... |
Terakhir saya makan nasi di
Eropa adalah ketika sedang one day tour ke Wicklow Mountain National Park di
Irlandia. Saya makan di salah satu kafe yang ada di sana. Sebenarnya saya cukup
kaget ketika mengetahui mereka punya nasi. Tanpa pikir panjang saya langsung
pesan nasi dan vegetables soup. Saya membayangkan makan sayur sup dengan nasi
di udara Irlandia yang saat itu cukup dingin tentu menyenangkan. Lezatnya
sampai kebayang di lidah.
Tapi bayangan itu buyar
begitu saya melihat sup yang mereka sajikan. Beda dengan sayur sup Indonesia
yang ada dalam bayangan saya. Sup ini seperti bubur, kental dengan warna kuning
kecoklatan. Terlihat seperti labu yang diblender. Rasanya? Tentu tidak lezat.
Lalu saya beralih ke nasinya. Saya sendok nasi tersebut dan… pyar. Nasinya
tidak menyatu. Seperti nasi pera yang berhamburan. Saat itu lah, saya kangen makan
nasi Indonesia. Saya pun langsung mengerti bagaimana rasanya menjadi Mira, “si
anak nasi.” ;p
Saat saya dan Feny semangat mencoba kebab di Berlin, Mira setia dengan menu nasi.
Find me at:
LINE: @psl7703h
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
Baca Juga:
LINE: @psl7703h
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
Baca Juga:
0 komentar