My Travel Stories

Lots of memories I can't keep, that's why I write.

Powered by Blogger.
  • Home
  • Indonesia
  • Asia
  • Australia
  • Eropa
  • Amerika
  • Travel Tips
  • Itinerary
  • Portfolio
"Yani, Yani, jangan sibuk foto-foto, ini tempat penjualan tiketnya tutup. Keretanya sudah mau jalan," teriak Asri dengan panik di stasiun kereta Fremantle. Saya pun tergopoh-gopoh mengikuti Asri yang sudah berjalan lebih dulu ke arah kereta. Masa sih, kami harus terdampar di Fremantle.

Asri akhirnya bisa tenang setelah berada di dalam kereta Fremantle - Perth

Hari itu, di bulan Oktober 2015, kami mengunjungi Rottnest Island, Australia Barat. Dari Perth kami naik kapal feri menuju pulau yang biasa disebut Rotto ini. Pulang dari Rotto kami sengaja turun di Fremantle untuk menjelajah. Karena Fremantle kota yang tidak besar, tidak butuh waktu lama bagi kami untuk jalan-jalan di sini. Ketika sudah gelap, kami pun memutuskan balik ke Perth dengan kereta.

Bangunan stasiun kereta Fremantle sangat bagus, bikin saya terus-menerus memotretnya. Nah, saat saya sedang asyik foto-foto, Asri heboh teriak-teriak. Dia panik karena berasumsi loket penjual tiket kereta sudah tutup. Dia pun mengira kereta yang ada di depan kami akan segera jalan. Meskipun saya sudah bilang kepadanya bahwa di jadwal yang sudah saya browsing, kereta baru akan jalan sekitar 30 menit lagi. Tapi kayaknya kepanikan lebih menguasainya. "Terserah ya, kalau lo mau ketinggalan kereta," katanya.

Dengan muka panik, Asri bertanya kepada petugas yang berjaga. Begini kurang lebih percakapannya.
"Where should we buy the ticket?"
"Over there," petugas menunjuk ke satu tempat dengan wajah keheranan.
"But it's closed," jawab Asri dengan wajah dan suara memelas.
"No it's not. Let me show you."

Petugas pria dengan wajah India itu pun mengajak kami ke tempat pembelian tiket. Rupanya tempat pembelian tiketnya bukan di tempat yang kami duga sebelumnya (tempat dengan rolling door yang tertutup). Tempat yang dimaksudnya adalah mesin automatis semacam mesin ATM. Petugas yang baik itu pun menunjukkan caranya kepada kami. "So next time you want to use train again, you know how to buy the ticket," jelasnya.

Ya wajar sih, wajah petugas tersebut keheranan saat Asri bilang tempat beli tiket keretanya tutup. Gimana bisa tutup kalau itu adalah mesin automatis. Yang ada mungkin rusak, bukan tutup.

Setelah kami berada di dalam kereta, saya sempat membahas kepanikan Asri. Reaksi Asri begini: "ya maklum aja. Gue kan, terbiasa naik kereta Jakarta - Bogor."

Ya beginilah yang namanya culture shock. We must be looked stupid in front of the train officer. Hahaha...


Booking.com
----------@yanilauwoie----------

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h

Blog Sebelumnya:
  • Penginapan di Sydney, Australia: Sydney Central Inn
  • Australia Trip: Random Breath Testing
  • Ditilang di Victoria, Australia
  • South Melbourne Market, Pasar Wajib Kunjung di Melbourne, Australia
  • Orang Indonesia Bertebaran di Melbourne, Australia
Foto: Dok. Sydney Central Inn

Saya menginap di Sydney Central Inn pada 3-5 Mei 2015. Ini plus minus yang saya rasakan ketika menginap di hostel yang beralamat di 428 Pitt Street, CBD, Sydney, Australia ini.

Plus
  • Lokasi strategis. Dari sini hanya perlu jalan kaki sekitar 5 menit menuju pemberhentian terdekat bus 555, bus gratis yang bisa membawa kita ke Sydney Opera House dan Sydney Harbour Bridge. Bisa juga jalan kaki sekitar 10-15 menit untuk sampai ke Darling Harbour dan sekitarnya serta Town Hall, Queen Victoria Building dan sekitarnya.
  • Petugas ramah. Waktu saya ke sini, petugas resepsionisnya adalah seorang pria muda asal Thailand. Dia sangat ramah dan baik dalam menjelaskan tujuan-tujuan yang saya tanyakan. Walaupun bahasa Inggrisnya tidak selancar air namun kami cukup bisa berkomunikasi dengan baik.
  • Free wi-fi. Yap, bisa internetan dengan gratis tapi sayangnya koneksinya tidak begitu bagus di dalam kamar. Koneksinya putus sambung. Koneksinya cukup bagus di lobi tapi sayangnya lobi di sini tidak bisa untuk leyeh-leyeh karena sangat kecil, sempit dan cuma ada 2 kursi tamu yang memang disediakan untuk tamu yang mau check in atau check out.
  • Tersedia dapur. Kalau untuk sekadar mengisi air minum untuk persediaan atau masak mie instan bisa dilakukan di sini tapi susah untuk masak yang serius karena dapurnya sangat kecil.
  • Ada air panas di kamar mandi. Meskipun kamar mandinya sharing (ada di luar kamar) tapi air panasnya berfungsi dengan baik. Ini penting buat saya. Jadi mau pulang malampun atau sedingin apapun udaranya, saya tetap bisa mandi dengan nyaman.
  • Jendela besar. Ada jendela besar yang menghadap ke jalan. Jendela ini bisa dibuka, sehingga sirkulasi udara sangat terjaga baik.
  • Ada kulkas di dalam kamar. Jarang banget saya menemukan kulkas (meskipun mini) di dalam kamar hostel. Jadi ini termasuk fasilitas mewah. Lumayan bisa menyimpan buah jeruk yang saya beli di Paddy's Markets.

Minus
  • Lantai karpet. Saya selalu menganggap ini sebagai kekurangan. Namun untuk negara yang punya empat musim kayaknya hal ini tidak terhindarkan. Mungkin agar lantainya tidak terlalu dingin.
  • Kecil. Dibandingkan budget hotel lain yang pernah saya inapi, tempat ini sangat kecil. Lobinya kecil, tangganya sempit, dapurnya kecil. Overall berasa kurang luas.
  • Petugas tidak siaga 24 jam. Waktu itu saya datang sekitar jam 8 pagi. Saya tidak bisa masuk karena petugasnya belum datang sehingga pintu lobinya terkunci. Akhirnya sekitar 15 menit saya menunggu di luar dengan cuaca dingin karena sedang gerimis. Saya pun bisa masuk karena ada tamu hostel yang keluar. Saya menunggu di lobi kecilnya sampai petugas datang sekitar pukul 9 pagi.
  • Fasilitasnya terbatas. Mereka tidak menyediakan komputer untuk disewa (seperti hostel-hostel lain yang pernah saya inapi), jadi saat mau print boarding pass pesawat, saya harus mencari di luar hostel. Tidak ada fasilitas sewa mesin cuci. Tidak ada juga acara-acara seru yang biasanya suka digelar hostel-hostel backpacker. Jadi ya murni hanya untuk numpang tidur saja.
  • Tidak dapat sarapan. Untuk harga yang tidak terlalu berbeda, hostel-hostel lain yang pernah saya inapi menyediakan sarapan.
  • Aroma kamar mandi tidak sedap. Ada 2 kamar mandi khusus wanita di lantai kamar yang saya inapi. Salah satu kamar mandi tersebut beraroma tidak sedap. Saya sih, curiga itu disebabkan oleh kotoran burung, soalnya ada kotoran burung tersisa di jendela kamar mandi.

Overall:
Meskipun harganya murah, 56 AUD untuk 2 malam (saya menempati kamar dormitory yang berisi 4 kasur), saya tidak akan memilih hostel ini lagi seandainya saya kembali ke Sydney.

Note:
Yang saya tulis di sini berdasarkan pengalaman saya sendiri. Sangat mungkin mereka memiliki fasilitas lain yang saya tidak tahu.


Booking.com
----------@yanilauwoie----------


Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h

Blog Sebelumnya:
  • Australia Trip: Random Breath Testing
  • Ditilang di Victoria, Australia
  • South Melbourne Market, Pasar Wajib Kunjung di Melbourne, Australia
  • Orang Indonesia Bertebaran di Melbourne, Australia
  • You Can't Expect Life Like You Plan
Oktober 2015. Sore itu, saya, Trav dan Asri sedang menuju The Royston, pub yang ada di River Street, Richmond, Melbourne. Tiba-tiba mobil yang dikendarai Trav dihentikan oleh polisi.

Wah, ada razia, toh? Begitu pikir saya saat itu. Trav pun mengikuti aba-aba polisi untuk mengarahkan mobilnya ke pinggir jalan. Seorang polisi wanita menghampiri Trav. Tadinya saya pikir, dia akan meminta surat-surat seperti yang biasa dilakukan oleh polisi-polisi di Indonesia saat menghentikan mobil di tengah jalan.

Tapi ternyata bukan itu yang diminta polisi tersebut. Dia meminta Trav untuk bernapas melalui sebuah alat. Selesai Trav memberikan napasnya, polisi tersebut mengecek alatnya. Tidak lama, dia pun mengucapkan terima kasih dan meminta kami pergi.

Belum pernah melihat hal tersebut, saya pun meminta penjelasan Trav. Rupanya itu adalah tes pernapasan yang dilakukan secara random kepada pengendara. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa para pengendara tidak berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obat terlarang saat sedang berkendara.

Jadi nggak boleh minum alkohol sama sekali kalau sedang menyetir? "Boleh. Tapi kadar alkohol di dalam darah nggak boleh lebih dari 0,05. Kalau kadarnya masih 0,05 atau di bawah itu, pasti akan dilepaskan sama polisi," jawab Trav.

Jangan tanya saya bagaimana kita bisa tahu apakah kita sudah melebihi batas tersebut atau belum saat minum alkohol. Karena saya nggak mengerti ;p Tapi satu hal yang saya tahu Australia sangat tegas untuk urusan pengendara yang berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obat terlarang. 

"Kalau kadar alkoholnya lebih dari batas yang dibolehkan, akan langsung disuruh turun dari mobil saat itu juga," lanjut Trav. Yap, karena membawa mobil saat mabuk bukan hanya membahayakan diri sendiri tapi juga orang lain.

Tapi yang saya dan Asri bingungkan adalah kenapa mereka melakukan tes tersebut di sore hari (saat itu sekitar pukul 5 sore). Memangnya ada ya, orang sudah mabuk di sore hari?

Update 20 Mei 2016
Pada 7 Mei lalu, saya mengalami kejadian serupa. Ketika dalam perjalanan dari Geelong menuju Torquay, mobil yang dikemudikan Trav dihentikan oleh petugas. Seperti yang sebelumnya, Trav pun lolos random breath testing ini. Selain dia orang yang sangat bertanggungjawab, dalam arti dia tidak akan membawa kendaraan dalam pengaruh alkohol, saat itu pun baru menjelang jam 11.30. Siapa juga yang mau mabuk-mabukan di jam segitu?


Trav sedang menghembuskan napas ke alat yang disodorkan petugas

Find me at:
LINE: @psl7703h
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie

YouTube: yanilauwoie

Blog Sebelumnya:
  • Ditilang di Victoria, Australia
  • South Melbourne Market, Pasar Wajib Kunjung di Melbourne, Australia
  • Orang Indonesia Bertebaran di Melbourne, Australia
  • You Can't Expect Life Like You Plan
  • Diendus Anjing di Bandara Perth, Australia
Pemandangan indah yang berbuah penilangan

Tidak ada tawar-menawar atau adu otot. Kami bahkan tidak melihat adanya petugas namun itu tidak membuat kami bisa hengkang dari pelanggaran yang kami lakukan.

Hari itu, agenda saya, Asri dan Trav adalah mengunjungi Great Ocean Road. Tempat wisata wajib kunjung di Victoria, Australia ini berjarak sekitar 4 jam dari Melbourne. Kawasan ini luas banget. Sepanjang jalan, ada banyak titik wisata yang bisa dikunjungi. Salah satunya adalah mercusuar Split Points. Mampir lah kami ke situ.

Lihat-lihatnya nggak lama. Paling hanya 15 menit. Tapi begitu kembali ke mobil, sudah ada secarik kertas kecil yang diselipkan di wiper mobil Trav. Ternyata oh ternyata itu adalah surat tilang karena kami parkir di tempat yang bukan seharusnya. Saya awalnya bingung kenapa harus ditilang karena di situ tidak ada larangan parkir. "Tapi mereka sudah menyediakan tempat parkir di bawah sana dan kita nggak parkir di sana," ujar Trav. 

Kalau Asri bingung untuk hal lain lagi. "Di sini bahkan nggak ada petugas berkeliaran. Kita nggak lihat kan, ada petugas?" Pasti tadi ada petugas yang melihat mobil terparkir tidak pada tempatnya. Tanpa perlu repot-repot mencari siapa pemiliknya, dia hanya perlu memberikan tiket tilang dan yakin bahwa orang yang diberinya tiket tersebut akan membayarnya.

"Kita nggak bisa pura-pura nggak lihat tiketnya, ya? Bisa kan, tiketnya ketiup angin," kata saya kepada Trav. "Ya nggak bisa gitu lah," balas Trav.

Yap, semuanya sudah terkoneksi dengan sistem. Kalau tidak dipatuhi, akan menyulitkan sendiri bila mau mengurus surat-surat di kemudian hari. Nggak heran meskipun bete, beberapa hari kemudian Trav membayar denda yang besarnya sekitar 1,5 juta tersebut.

Jadi kalau bawa mobil di Australia, jangan sembarangan dengan peraturan lalu lintasnya. Kalau nggak, ya siap-siap aja ditilang.

----------@yanilauwoie----------


Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h

Blog Sebelumnya:
  • South Melbourne Market, Pasar Wajib Kunjung di Melbourne, Australia
  • Orang Indonesia Bertebaran di Melbourne, Australia
  • You Can't Expect Life Like You Plan
  • Diendus Anjing di Bandara Perth, Australia
  • Penginapan di Kuala Lumpur, Malaysia: Tune Hotel KLIA2
Tiga kali jalan-jalan ke Melbourne, Australia, tiga kali pula saya mengunjungi South Melbourne Market. Rasanya ini menjadi salah satu tempat wajib kunjung saat saya ke Melbourne. Ada banyak alasan yang membuat saya senang berbelanja di sini. Berikut beberapa di antaranya.

1. Banyak seafood segar. Di sini ada beberapa penjual seafood. Bukan hanya menjual yang mentah, mereka juga menjual yang sudah matang. Bukan berarti dimasak dengan aneka bumbu seperti di rumah makan seafood, ya. Bukan seperti itu. Ini matang namun plain, tanpa bumbu. Saya pernah mencoba udangnya. Dagingnya cukup besar dan rasanya segar dan sedikit manis. Enaak. Saya sangat suka! Teman saya, Asri sempat makan tiram mentah yang dibalur perasan lemon dan saus. Dia menyukainya. Saya sih, memilih tidak memakannya karena punya pengalaman buruk dengan tiram sebelumnya. Ini akan saya ceritakan di blog terpisah.


Asri (ditemani Trav) girang bisa makan tiram segar

2. Banyak buah-buahan. Walaupun tidak membeli semua jenis buah yang ada di sini tapi rasanya senang aja melihat deretan buah warna-warni berjajar rapi. Lebih senang lagi kalau bisa mendapatkan buah favorit berharga murah. Asri sempat membeli buah jeruk seharga 3 AUD dengan isi sekitar 12 biji. Bayangkan mendapatkan jeruk dengan tipe seperti sunkis dengan harga semurah itu. Sebagai 'anak jeruk' saya senang banget. Apalagi setelah dicoba, jeruknya manis dan segar.

3. Banyak makanan. Mau makanan berat maupun camilan banyak tersedia di sini. Trav adalah pecandu salah satu dimsum yang dijual di sini. Tiap kali ke sana, dia akan pesan dimsum sementara saya pesan vegetable spring roll. Saya suka dengan spring roll-nya. Bumbunya berasa banget. Setahu saya ada dua toko dimsum di situ, satu yang ada di luar yang ramainya luar biasa dan satu lagi di dalam. Yang saya dan Trav datangi adalah yang di dalam. "Orang tahunya di sini padahal yang enak adalah yang di dalam," kata Trav saat melewati toko dimsum yang di deretan luar.

4. Rapi dan bersih. Berbelanja di sini sangat nyaman. Meskipun pasar tradisional yang menyediakan banyak hal (mulai dari sayur, daging, ayam, makanan laut, buah, aneka bumbu, kue sampai barang-barang seperti baju dan sepatu) tapi pasar ini terkesan sangat modern. Lorongnya cukup luas, deretan tokonya rapi dan bersih. Bikin betah meskipun hanya untuk melihat-melihat saja.

5. Harganya murah. Namanya juga pasar tradisional tentu harga yang ada di sini lebih murah dari yang dijual di supermarket macam Woolworths. Jadi kalau untuk masak sehari-hari memang bagusnya belanja di pasar tradisional seperti South Melbourne Market ini.

Find me at:
LINE: @psl7703h
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie


YouTube: yanilauwoie

Blog Sebelumnya:
  • Orang Indonesia Bertebaran di Melbourne, Australia
  • You Can't Expect Life Like You Plan
  • Diendus Anjing di Bandara Perth, Australia
  • Penginapan di Kuala Lumpur, Malaysia: Tune Hotel KLIA2
  • Penginapan di Perth, Australia: The Witch's Hat
Saya pernah menulis blog tentang Australia yang "Indonesia banget". Keyakinan tersebut makin kuat setelah saya bertemu Mas Windo dalam perjalanan saya di Melbourne pada Oktober 2015.


Mas Windo memakai baju merah

Saat itu saya dan teman perjalanan saya, Asri sedang mengunjungi Queen Victoria Market untuk mencari oleh-oleh. Sebenarnya saya sedang mencari penjual (yang saya duga kuat asal Turki) yang sudah dua kali saya beli barang-barangnya saat kunjungan pertama dan kedua saya ke Melbourne. Saya beli di sana karena harganya cukup murah dibandingkan beberapa penjual lain di sekitarnya. 

Hari itu, saya tidak menemukannya. Saya pun lupa lorong lapaknya. Akhirnya saya dan Asri berakhir di suatu lapak yang terlihat punya banyak pilihan souvenir. Saat kami sedang memilih-milih sambil bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, sang penjual menyapa kami, "cari apa, Mbak?". Sejujurnya saya tidak terlalu kaget karena wajahnya memang Indonesia banget.

Dari situ kami bercakap-cakap. Namanya Windo. Dia berasal dari Jogjakarta. Saat itu, dia sudah tinggal di Melbourne sekitar 10 bulan. Keberadaannya di kota dengan cuaca labil tersebut adalah untuk menemani sang istri yang mengambil kuliah dengan jurusan Public Health di Universitas Melbourne.

"Di sini makanannya susah. Beli kangkung satu ikat kecil seharga 1 AUD cuma bisa sekali makan. Kalau di Jogja kan, lebih murah," jawabnya saat saya tanya apakah dia betah tinggal di Melbourne. 

Saya bahkan nggak tahu bahwa ada kangkung di Melbourne. Harusnya saya menanyakan hal tersebut lebih lanjut kepadanya. Namun saat itu saya lebih terkesan kepada kerelaan Mas Windo untuk meninggalkan bisnis musiknya di Jogja demi menemani istrinya. Untungnya, di Melbourne dia mengambil kursus musik klasik seminggu sekali. Jadi kecintaannya terhadap musik tetap tersalurkan.

Saat tidak belajar musik, dia bekerja sebagai penjual souvenir di Queen Victoria Market. "Ini bukan punya saya. Pemiliknya orang Vietnam. Saya bekerja untuk mereka dari jam 7 pagi sampai 4 sore," ceritanya.

Perbincangan saya dengan Mas Windo berakhir ketika saya dan Asri selesai berbelanja. 

Sebenarnya ini bukan pertamakalinya saya menemukan penjual Indonesia di Queen Victoria Market. Di perjalanan kedua saya ke Melbourne pada Mei 2015, saya juga sempat melihat orang Indonesia yang sedang bercakap-cakap dengan penjual souvenir yang tentunya orang Indonesia juga.

Yap, orang Indonesia bertebaran di Melbourne :)

----------@yanilauwoie----------

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h

Blog Sebelumnya:
  • You Can't Expect Life Like You Plan
  • Diendus Anjing di Bandara Perth, Australia
  • Penginapan di Kuala Lumpur, Malaysia: Tune Hotel KLIA2
  • Penginapan di Perth, Australia: The Witch's Hat
  • Tip Hemat Jalan-jalan di Perth, Australia



Newer Posts Older Posts Home

My Travel Book

My Travel Book
Baca yuk, kisah perjalanan saya di 20 negara!

My Travel Videos

Connect with Me

Total Pageviews

Categories

Amerika Serikat Australia Belanda Belgia Ceko Denmark Hong Kong Indonesia Inggris Irlandia Italia Jepang Jerman Korea Selatan Macau Malaysia Prancis Singapura Skotlandia Spanyol Thailand Vietnam

Blog Archive

  • ►  2025 (4)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2024 (12)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2023 (7)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2022 (6)
    • ►  October (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2021 (19)
    • ►  December (2)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (2)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2020 (4)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2019 (51)
    • ►  December (4)
    • ►  November (3)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (3)
    • ►  June (5)
    • ►  May (4)
    • ►  April (5)
    • ►  March (10)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ►  2018 (30)
    • ►  December (8)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (5)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2017 (60)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (5)
    • ►  September (8)
    • ►  August (5)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  May (8)
    • ►  April (9)
    • ►  March (2)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ▼  2016 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (4)
    • ►  August (4)
    • ►  July (1)
    • ►  June (3)
    • ►  May (6)
    • ►  April (5)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
    • ▼  January (6)
      • Heboh Tiket Kereta di Fremantle, Australia Barat
      • Penginapan di Sydney, Australia: Sydney Central Inn
      • Australia Trip: Random Breath Testing
      • Ditilang di Victoria, Australia
      • South Melbourne Market, Pasar Wajib Kunjung di Mel...
      • Orang Indonesia Bertebaran di Melbourne, Australia
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (7)
    • ►  November (4)
    • ►  October (3)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (4)
    • ►  June (4)
    • ►  May (6)
    • ►  April (3)
    • ►  March (6)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2014 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (5)
    • ►  June (3)
    • ►  May (5)
    • ►  April (4)
    • ►  March (5)
    • ►  February (5)
    • ►  January (6)
  • ►  2013 (13)
    • ►  December (5)
    • ►  November (2)
    • ►  October (6)

Search a Best Deal Hotel

Booking.com

Translate

Booking.com

FOLLOW ME @ INSTAGRAM

Most Read

  • 10 Info Tentang Kartu Myki, Alat Bayar Transportasi di Melbourne, Australia
  • 6 Rekomendasi Oleh-oleh dari Edinburgh, Skotlandia dan Kisaran Harganya
  • 8 Tip Naik Tram di Melbourne, Australia
  • My 2018 Highlights

About Me

Hi, I'm Yani. I have 15 years experience working in the media industry. Despite my ability to write various topics, my biggest passion is to write travel stories. By writing travel stories, I combine my two favourite things; travelling and writing. All the content in this blog are mine otherwise is stated. Feel free to contact me if you have questions or collaboration proposal :)

Contact Me

Name

Email *

Message *

Copyright © 2016 My Travel Stories. Created by OddThemes & VineThemes