Suka Barang-barang Artsy? Coba deh, Datang ke Cicada Market di Hua Hin, Thailand
Selain Khao Luang Cave di Phetchaburi, saya juga mengunjungi Cicada Market ketika mendapat tugas kantor ke Thailand pada akhir Agustus - awal Sepetmber kemarin. And I love this market!
Saat di Jakarta, saya sudah browsing tentang pasar seni yang terletak di
Hua Hin ini. Jadi, saya sudah tahu, Cicada Market dibangun untuk
mempertemukan para artis, pencipta, desainer, turis, dan komunitas.
Informasi itu membuat ekspektasi saya makin tinggi terhadap
produk-produk yang dijual di pasar yang hanya bisa dikunjungi pada
Jumat-Sabtu, pukul 16.00-23.00, dan Minggu, pukul 16.00- 22.00 ini.
Ekspektasi saya tidak salah. Barang-barang yang ditawarkan di sini memang tidak biasa, unik, dan memiliki kreativitas tinggi. Saya tertarik pada sunglasses berbingkai kayu. “Ini handmade,” ucap penjualnya, ketika melihat saya sibuk memilih-milih kacamata yang dijual seharga 2000-an bath atau sekitar Rp800.000-an ini. Setelah mencoba beberapa kacamata, saya memutuskan tidak membelinya karena mereka tidak memiliki kacamata model Jackie O, model yang saya incar karena cocok untuk bentuk wajah saya.
Setelah puas melihat-lihat kacamata, saya kembali menjelajahi area yang disebut Art A La Mode, area khusus barang-barang kerajinan tangan. Hati dan mata saya dibuat terkagum-kagum oleh berbagai barang yang banyak diproduksi menggunakan keterampilan tangan, mulai dari suvenir, seperti gantungan kunci dan magnet, sampai aksesori seperti tas dan jam tangan.
Kaki saya sempat berhenti di kios yang menjual suvenir dari ukiran kayu. Harganya 79 bath atau sekitar Rp31.600 per buah. Tapi, kalau membeli dua buah harganya 150 bath atau sekitar Rp60.000. Bila beli 10 ke atas, harga satuannya menjadi 70 bath (sekitar Rp28.000). Saya tertarik pada bentuk suvenir yang mereka ukir, mulai dari alat musik, tokoh kartun, sampai simbol media sosial seperti Instagram yang terukir dengan rapi.
Begitu saya memesan ukiran Instagram, si penjual yang adalah pasangan suami-istri, Keng dan Ann, ini langsung beraksi. Sang suami menempelkan abjad nama saya yang juga terukir dari kayu. Selesai mengelem, sang istri mengambil alih pekerjaan dengan melapis suvenir saya menggunakan kaca plastik dan menguncinya dengan baut melalui bor kecilnya. Terakhir, dia menempelkan dua buah magnet di belakang suvenir untuk kemudian dimasukkan ke dalam plastik kecil bening sebagai pembungkus. Saya puas dengan hasilnya, rapi dan berbeda dari suvenir kebanyakan.
Malam itu, saya menghabiskan sisa waktu dengan menonton pertunjukan band lokal di tengah taman. Sambil menyeruput Thai tea yang saya beli di tenant khusus makanan seharga 45 bath atau sekitar Rp18.000, saya menikmati musik kontemporer yang dimainkan band tersebut. Saya tidak mengerti lirik-lirik berbahasa Thailand yang keluar dari mulutnya. Tapi, melihat penampilan mereka di pasar yang penuh barang-barang unik ini membuat saya paham mengapa tempat ini dinamakan pasar seni. Tempat dan suasana yang tepat untuk menutup hari.
Ekspektasi saya tidak salah. Barang-barang yang ditawarkan di sini memang tidak biasa, unik, dan memiliki kreativitas tinggi. Saya tertarik pada sunglasses berbingkai kayu. “Ini handmade,” ucap penjualnya, ketika melihat saya sibuk memilih-milih kacamata yang dijual seharga 2000-an bath atau sekitar Rp800.000-an ini. Setelah mencoba beberapa kacamata, saya memutuskan tidak membelinya karena mereka tidak memiliki kacamata model Jackie O, model yang saya incar karena cocok untuk bentuk wajah saya.
Setelah puas melihat-lihat kacamata, saya kembali menjelajahi area yang disebut Art A La Mode, area khusus barang-barang kerajinan tangan. Hati dan mata saya dibuat terkagum-kagum oleh berbagai barang yang banyak diproduksi menggunakan keterampilan tangan, mulai dari suvenir, seperti gantungan kunci dan magnet, sampai aksesori seperti tas dan jam tangan.
Kaki saya sempat berhenti di kios yang menjual suvenir dari ukiran kayu. Harganya 79 bath atau sekitar Rp31.600 per buah. Tapi, kalau membeli dua buah harganya 150 bath atau sekitar Rp60.000. Bila beli 10 ke atas, harga satuannya menjadi 70 bath (sekitar Rp28.000). Saya tertarik pada bentuk suvenir yang mereka ukir, mulai dari alat musik, tokoh kartun, sampai simbol media sosial seperti Instagram yang terukir dengan rapi.
Begitu saya memesan ukiran Instagram, si penjual yang adalah pasangan suami-istri, Keng dan Ann, ini langsung beraksi. Sang suami menempelkan abjad nama saya yang juga terukir dari kayu. Selesai mengelem, sang istri mengambil alih pekerjaan dengan melapis suvenir saya menggunakan kaca plastik dan menguncinya dengan baut melalui bor kecilnya. Terakhir, dia menempelkan dua buah magnet di belakang suvenir untuk kemudian dimasukkan ke dalam plastik kecil bening sebagai pembungkus. Saya puas dengan hasilnya, rapi dan berbeda dari suvenir kebanyakan.
Malam itu, saya menghabiskan sisa waktu dengan menonton pertunjukan band lokal di tengah taman. Sambil menyeruput Thai tea yang saya beli di tenant khusus makanan seharga 45 bath atau sekitar Rp18.000, saya menikmati musik kontemporer yang dimainkan band tersebut. Saya tidak mengerti lirik-lirik berbahasa Thailand yang keluar dari mulutnya. Tapi, melihat penampilan mereka di pasar yang penuh barang-barang unik ini membuat saya paham mengapa tempat ini dinamakan pasar seni. Tempat dan suasana yang tepat untuk menutup hari.
Tulisan ini telah tayang di website femina. Bisa dilihat di sini.
Find me at:
LINE: @psl7703h
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
0 komentar