My Travel Stories

Lots of memories I can't keep, that's why I write.

Powered by Blogger.
  • Home
  • Indonesia
  • Asia
  • Australia
  • Eropa
  • Amerika
  • Travel Tips
  • Itinerary
  • Portfolio
Kushi Katsu Tanaka di Nishishinsaibashi

Jepang adalah salah satu negara yang membuat saya kagum! Bukan hanya karena keindahan alam atau kemajuan teknologinya, tapi juga orang-orangnya, terutama untuk orang-orang yang bergerak di bidang pelayanan dan jasa karena merekalah yang banyak saya temui selama perjalanan saya ke Jepang pada April 2019. 

Berdasarkan pengalaman saya, orang-orang tersebut memiliki jiwa penolong yang luar biasa. Ada beberapa peristiwa yang saya alami dan membuat saya bisa pada kesimpulan tersebut. 

Peristiwa pertama adalah ketika saya mencari toilet di Seaside Mall, Decks, Tokyo. Saya secara random bertanya kepada salah satu karyawan dari salah satu tenan di sana. Saya tidak masuk ke tokonya dan tidak juga membeli produknya namun dia meninggalkan tokonya beberapa meter hanya untuk menunjukkan pada saya kemana saya harus melangkah. Setelah memastikan saya melihat tanda toilet, baru dia melepaskan saya. 

Hal yang sama juga terjadi saat saya di Big Camera, area Namba, Osaka. Saya menanyakan toilet kepada karyawan dan dia berjalan agak jauh dari posnya bertugas, hanya untuk menunjukkan kepada saya eskalator menuju lantai 2, tempat toilet berada. 


Cerita lainnya adalah ketika saya dan Biru mau meninggalkan hotel CMM Crystate Kyoto untuk menuju Kyoto Station karena kami harus melanjutkan perjalanan ke Osaka. Kami meminta bantuan petugas untuk mencarikan kami taksi. Sebenarnya jarak hotel dan Kyoto station dekat sekali. Namun kondisi kaki Biru yang sedang sakit membuatnya tidak memungkinkan berjalan. 


Sang petugas wanita ini dengan gesitnya keluar ke jalanan dan mencarikan taksi. Kemudian setelah mendapat taksi, dia pun berusaha membantu membawa koper besar kami. Biru melarangnya namun dia berkata, "Saya kuat, kok!" Biru tetap mencegahnya untuk membawa koper besar itu. 


Selanjutnya dengan sigapnya dia menjelaskan kepada sang sopir taksi dalam bahasa ibunya. Meskipun saya tidak mengerti namun saya menduga dia meminta sang sopir untuk menurunkan kami di sisi stasiun yang paling dekat dengan shinkansen agar Biru tak perlu berjalan terlalu jauh. Saya menduga demikian karena ketika menjelaskan dia menunjuk kaki Biru dan kami diturunkan tepat di depan pintu masuk arah platform shinkansen ke Osaka. 


Setelah memberikan intruksi kepada sang sopir taksi, dia menghadap ke arah kami, mengucapkan terima kasih sambil membungkukkan badannya. Lalu dengan lincahnya dia berlari kecil menyebrang jalan, kembali ke arah hotelnya. 


Peristiwa lain yang saya alami mengenai pelayanan maksimal ini adalah ketika saya berbelanja di Daiso di Shinsaibashi Shopping Arcade. Saat itu, saya berusaha mendapatkan hadiah saya. Jadi setiap berbelanja sebesar 300 Yen akan mendapatkan 1 stiker. Bila berhasil mengumpulkan 20 stiker maka bisa mendapatkan mug atau mangkok bergambar kelinci hanya dengan menambah 300 Yen saja.


Nah, saat ingin menukarkan hadiah ini, saya mengantri di kasir. Lalu saya tunjukkan sama kasir kertas yang sudah berisi 20 stiker. Sang kasir menjawab dalam bahasa Jepang sambil geleng-geleng kepala. Sebenarnya saya sudah menduga dari reaksinya bahwa barang tersebut kosong. Namun karena ingin memberi informasi lebih kepada saya, dia mengeluarkan ponselnya dan mengetik di kolom google translate. 


Dari situ saya membaca tulisan berbahasa Inggris yang kurang lebih seperti ini: "Stok barang tersebut saat ini sedang kosong namun kamu bisa menukarnya di toko Daiso lain." Saya terharu melihat usahanya. Padahal sebelumnya saya melihat kasir wanita ini kurang ramah karena tidak tersenyum sama sekali. Ternyata, tidak tersenyum bukan berarti dia bukan penolong. 


Yang terakhir yang mau saya ceritakan adalah perihal karyawan yang saya temui di rumah makan Kushi Katsu Tanaka di Nishishinsaibashi. Saat itu saya makan Stewed Beef Tendon Over Rice dan Fish Cake yang menurut saya enak. Saya pun berusaha mengapresiasikannya kepada mereka. 


Saya bilang kepada salah satu karyawannya bahwa makanannya enak. Meskipun tidak bisa bahasa Inggris tampaknya dia mengerti karena saya mengacungi jempol. Dia pun mengucapkan terima kasih sambil membungkuk. Lalu dia menemani saya keluar restoran, membukakan pintu dan kembali membungkuk sambil mengucapkan terima kasih. Wah, saya langsung berasa menjadi tamu yang sangat istimewa.  


Berdasarkan kejadian-kejadian tersebutlah saya merasa bahwa orang-orang Jepang itu penolong dan total dalam memberikan pelayanan. Salut! 


Setuju? Atau punya pengalaman yang berbeda? Share di kolom komentar, ya...



Booking.com
----------@yanilauwoie----------


Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h



Blog Sebelumnya:
  • McDonald's di Kopenhagen: Cokelat Panas Gratis dan Pesanan Keluar dari Langit-langit
  • Cerita Toilet di Jepang
  • Masuk Kamar Ganti di Jepang? Jangan Lupa Buka Alas Kaki
  • Betapa Tepat Waktunya Orang Jepang
  • 7 Alasan untuk Menginap di Hotel Best Western Premier The Hive - Jakarta

Seperti biasa, kalau sudah bingung mau makan apa, saya pasti larinya ke restoran fast food seperti KFC atau McDonald's. Kenapa? Selain harganya sangat terjangkau, saya tahu persis apa yang saya dapatkan. Sudah kebayanglah bagaimana rasa ayam atau burgernya, jadi nggak perlu 'untung-untungan' seperti halnya mencoba makanan baru yang tak dikenal. Nah, kali ini saya mau bercerita tentang pengalaman saya saat membeli makanan di McDonald's di Kopenhagen yang menurut saya cukup unik. 

Saya ke sini setelah keluar dari supermarket Irma, yang memang letaknya bersebelahan dan tidak jauh dari City Hall Square. Niatnya, ingin membeli makan malam yang akan saya bawa pulang dan santap di penginapan. Saya lebih senang mendekam di kamar penginapan, soalnya udara malam Kopenhagen pada akhir Oktober 2018 cukup dingin, mencapai suhu 4 derajat dengan real feel-nya -4 derajat. Saya pun memesan cheeseburger dengan harga 10DKK. 

Namun setelah menunggu sekian lama, cheeseburger saya tak kunjung keluar padahal orang sebelum saya yang juga memesan cheeseburger sudah mendapatkan pesanannya dari tadi. Harusnya saya tak menunggu lama setelah dia, apalagi kami memesan menu yang sama. Namun saya memutuskan untuk tetap sabar menanti. 

Dalam penantian, saya melihat sang pelayan kembali ke mesin kasir, tempat saya memesan sebelumnya, dan memencet sesuatu, kemudian di layar kasir tertulis cheeseburger. Saya curiga dia lupa pesanan saya dan baru memasukkannya. 

Kecurigaan ini terbukti ketika dia menghampiri saya dan menawarkan minuman gratis sebagai permintaan maaf karena lama menunggu. 
"Kamu mau minum? Ini gratis," tawarnya.
"Apakah kamu punya minuman yang panas?"
"Ya. Kami punya cokelat panas."
"Oke, saya mau itu," kata saya menutup percakapan.

Dia pun memberikan saya minuman tersebut sambil berkata bahwa cheeseburger saya akan segera siap. Setelah itu, saya melihat orang yang memesan setelah saya, sudah mendapatkan pesanannya. Satu lagi bukti bahwa sang pelayan sempat melupakan pesanan saya. Tapi saya harus acungi jempol dengan itikad baiknya untuk memperbaiki keadaan dengan cara memberikan saya cokelat panas gratis.    

Tidak lama kemudian, cheeseburger saya keluar. Berbeda dari kebanyakan McDonald's yang pernah saya masuki, cheeseburger saya keluar dari langit-langit restoran. Jadi di langit-langit terdapat rel yang bergerak membawa makanan dari lantai atas ke lantai bawah. Saya menduga dapurnya mereka ada di lantai atas karena itu dibutuhkan rel untuk mempermudah transfer makanan ini.   

Melihat teknologi ini saya merasa takjub karena baru kali ini saya melihat restoran McDonald's yang memiliki fitur seperti ini. Saking noraknya, saya sampai merekam ketika makanan-makanan tersebut turun berdatangan melalui rel. Haha... 


Booking.com
----------@yanilauwoie----------


Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h



Blog Sebelumnya:
  • Cerita Toilet di Jepang
  • Masuk Kamar Ganti di Jepang? Jangan Lupa Buka Alas Kaki
  • Betapa Tepat Waktunya Orang Jepang
  • 7 Alasan untuk Menginap di Hotel Best Western Premier The Hive - Jakarta
  • Jalan-jalan ke Kopenhagen: Ditawari Brondong Ganteng
Foto ilustrasi: Pixabay

Memang benar bahwa kita harus bisa beradaptasi dengan budaya tempat yang kita kunjungi. Nggak usah, jauh-jauh ngomongin tentang budaya keluarga, tata krama, bersosialisasi dan lain sebagainya. Budaya menggunakan toilet juga penting lho, untuk bisa membuat kita bertahan di suatu negara. Karena beda negara, beda cara penggunaan toiletnya. 

Saya pernah menulis tentang bedanya penggunaan toilet antara Indonesia dan Australia (bisa dibaca di tautan berikut ini). Rupanya Jepang menganut aturan yang sama dengan Australia, yaitu membuang tisu langsung ke dalam toilet dan bukan tempat sampah. Karena saya sudah kenal dengan konsep ini, saya merasa tidak kaget lagi. 

Namun ada hal lain yang membuat saya sempat kebingungan, yaitu banyaknya tombol yang harus ditekan setelah kita selesai menggunakan toilet. Yang jadi masalah adalah, tidak semua toilet yang saya temui di Jepang menyediakan bahasa bilingual, Jepang dan Inggris, ada juga yang hanya menggunakan bahasa Jepang saja. Jadi dibutuhkan kejelian dalam menerjemahkan gambar yang terpampang. Nggak mau kan, mencet tombol yang salah dan tahu-tahu air muncrat kemana-mana? 


Ini contohnya toilet yang hanya menggunakan bahasa Jepang

Jadi dari pengalaman saya mengamati aneka gambar yang ada, kurang lebih begini yang bisa saya simpulkan:
  • Gambar wanita: untuk menyiram bagian depan alias vagina. Bisa digunakan setelah buang air kecil. 
  • Gambar bokong (seperti huruf W): untuk menyiram bagian belakang atau dubur. Bisa digunakan setelah buang air besar. 
  • Gambar not balok: untuk menghadirkan suara (bisa suara musik atau suara air), tujuannya biar orang di bilik sebelah nggak bisa dengar suara saat kita buang air. 
  • Gambar kotak (biasanya warna merah dan terletak paling depan): untuk menyetop semuanya, baik menyetop semprotan air maupun suara musik. 
  • Gambar plus minus: untuk tekanan air atau volume suara, tergantung letaknya di mana. Untuk tekanan air biasanya di bawah tombol stop atau semprotan ke bokong, sedangkan untuk volume suara biasanya ada di bawah gambar not angka. 
Gambar-gambar tersebut biasanya ada di sisi kanan (posisi kita duduk) toilet. Lalu di mana tombol untuk flush atau menyiram kotoran setelah buang air? Nah, jawabnya bisa beda-beda. Ada yang menempel di sisi tank air, ada yang posisinya menempel di tiang belakang toilet dan ada juga yang menempel di dinding bilik. Untuk yang pertama dan kedua karena bentuknya adalah berupa pegangan, seperti di Indonesia, jadi tinggal digerakkan saja. Sementara untuk yang terakhir, hanya perlu menempelkan kelima jari ke arah sensor magnetik. 

Selain itu, saya pernah juga nemu toilet di Seaside Mall, Decks, Tokyo, yang petunjuknya bilang akan flush secara otomatis namun kenyataannya tidak. Saya pikir, oh mungkin akan terjadi ketika saya berdiri, namun setelah berdiri, kok, tidak mem-flush juga. Apa dia akan flush begitu saya keluar, ya? Saya pun keluar bilik, menunggu beberapa saat, dan tetap tidak ada apapun yang terjadi. 

Akhirnya saya masuk lagi ke dalam bilik tersebut dan mencari-cari tombol untuk menyiram. Untungnya ketemu dan semua kotoran pun masuk ke dalam toilet. Meskipun cuma buang air kecil tapi kan, jijik aja ya, kalau ada orang lain masuk dan menemukannya. 

Dari situ, saya belajar bahwa saya tidak bisa merasa nyantai tiap kali masuk toilet di Jepang. Harus selalu jeli karena selalu saja menemukan hal baru. 

Namun cerita toilet Jepang saya yang paling epik adalah yang terjadi di Kansai International Airport, Osaka pada saat saya mau pulang ke Jakarta, pertengahan April 2019. Saat itu, saya telah selesai menggunakan toilet dan membuka pintu bilik. 

Sejurus kemudian, saya kaget melihat pemandangan di depan saya. Seorang ibu berwajah oriental sedang duduk di toilet dengan posisi celana denim di pahanya. Mata kami beradu dan saya mematung, bukan karena suka dengan apa yang saya lihat namun lebih karena syok. Adegan selanjutnya adalah, si ibu tersenyum malu kepada saya dan kemudian menutup pintu bilik. 

Kecanggungan pun berlanjut, ketika kami bertemu lagi di tempat cuci tangan. Saya pun memberikan senyuman kepada ibu bersweater hijau tersebut, sebelum meninggalkan toilet. Doa saya hanya satu, semoga saya tidak akan bertemu dengan ibu-ibu lain yang punya kebiasaan tidak menutup pintu toilet. Ampun, dah, Bu!


Booking.com

----------@yanilauwoie----------


Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h


Blog Sebelumnya:
  • Masuk Kamar Ganti di Jepang? Jangan Lupa Buka Alas Kaki
  • Betapa Tepat Waktunya Orang Jepang
  • 7 Alasan untuk Menginap di Hotel Best Western Premier The Hive - Jakarta
  • Jalan-jalan ke Kopenhagen: Ditawari Brondong Ganteng
  • Toilet Transparan di Amsterdam
Saya tanpa sepatu di dalam kamar ganti GU

Sama seperti kita, orang Indonesia, orang Jepang juga terbiasa dengan budaya membuka sepatu saat masuk ke dalam rumah. Tapi saya sungguh tak menyangka kalau melepas alas kaki juga harus dilakukan saat masuk ke dalam kamar aparthotel atau di kamar ganti sebuah toko baju. 

Saat saya masuk ke kamar yang saya sewa di aparthotel CMM Crystate Kyoto, saya dengan cueknya masuk dengan kaki yang masih terbungkus sepatu. Karena memang seperti itulah yang biasanya saya lakukan kalau menginap di sebuah akomodasi, baik di hostel, hotel, atau aparthotel. 

Kalaupun saya mau melepas alas kaki, itu karena memang saya menginginkannya, bukan karena ada peraturan yang mengharuskan saya melepas alas kaki. Nah, tapi di aparthotel ini berbeda. Dekat pintu masuk, terdapat tanda yang menggambarkan tidak boleh memakai alas kaki di dalam kamar. 

Saya awalnya tidak melihat peringatan tersebut, namun begitu mata saya menangkapnya, saya langsung membuka sepatu saya. Meskipun tidak ada yang akan melihat juga apakah saya memakai atau membuka sepatu, saya mencoba menuruti peraturan tersebut. Begitu juga dengan Biru yang langsung melepas sepatunya begitu saya menunjukkannya peringatan tersebut. 

Dari empat akomodasi yang saya inapi di Jepang (hanya ini yang aparthotel, selebihnya hotel), hanya CMM Crystate Kyoto yang memiliki peraturan lepas alas kaki, atau paling tidak yang saya tahu memiliki peraturan ini.

Aneh? Nggak seberapa sih, bila dibandingkan harus melepas kaki di kamar ganti toko pakaian. Hal ini saya temui ketika saya sedang mencoba trench coat dan jaket di sebuah toko di Takeshita Street, Harajuku, Tokyo. Saat sudah berada di dalam kamar ganti (yang penutupnya adalah gorden), tiba-tiba suara seorang petugas wanita memanggil dari luar. 

Begitu saya membuka tirai, sang wanita menunjuk kaki saya yang bersepatu, kemudian menunjukkan gambar sepatu dicoret yang ada di lantai bawah yang sebelumnya terhalang tirai. Saya langsung meminta maaf dan segera membuka sepatu saya. 

Peristiwa kedua terjadi ketika saya sedang mencoba pakaian di toko pakaian GU yang berada di Shinsaibashi Shopping Arcade. Saya dengan pedenya main masuk saja ke kamar ganti dengan masih memakai sepatu. Lagi-lagi, saya diingatkan oleh petugas untuk membuka sepatu. D'oh, saya tetap saja lupa!

Jepang adalah negara pertama yang membuat saya harus melepaskan sepatu di kamar ganti. Sebelumnya saya pernah masuk kamar ganti toko pakaian di beberapa negara, di antaranya di Australia, Inggris, Belgia, Belanda, Irlandia, Hong Kong, dan Singapura namun tidak pernah ada yang meminta saya melepas sepatu. 

Ya, memang selalu ada hal baru yang dipelajari setiap dari bepergian bukan? Ada yang pernah mengalami diminta untuk melepas alas kaki juga saat travelling ke Jepang? Cerita, dong...

Booking.com
----------@yanilauwoie----------


Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h

Blog Sebelumnya:
  • Betapa Tepat Waktunya Orang Jepang
  • 7 Alasan untuk Menginap di Hotel Best Western Premier The Hive - Jakarta
  • Jalan-jalan ke Kopenhagen: Ditawari Brondong Ganteng
  • Toilet Transparan di Amsterdam
  • Jalan-jalan ke Kopenhagen: Dapat Lambaian Tangan dari Ratu Denmark, Margrethe II
Newer Posts Older Posts Home

My Travel Book

My Travel Book
Baca yuk, kisah perjalanan saya di 20 negara!

My Travel Videos

Connect with Me

Total Pageviews

Categories

Amerika Serikat Australia Belanda Belgia Ceko Denmark Hong Kong Indonesia Inggris Irlandia Italia Jepang Jerman Korea Selatan Macau Malaysia Prancis Singapura Skotlandia Spanyol Thailand Vietnam

Blog Archive

  • ►  2025 (4)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2024 (12)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2023 (7)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2022 (6)
    • ►  October (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2021 (19)
    • ►  December (2)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (2)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2020 (4)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  January (2)
  • ▼  2019 (51)
    • ►  December (4)
    • ►  November (3)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (3)
    • ►  June (5)
    • ▼  May (4)
      • Luar Biasanya Pelayanan Orang Jepang
      • McDonald's di Kopenhagen: Cokelat Panas Gratis dan...
      • Cerita Toilet di Jepang
      • Masuk Kamar Ganti di Jepang? Jangan Lupa Buka Alas...
    • ►  April (5)
    • ►  March (10)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ►  2018 (30)
    • ►  December (8)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (5)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2017 (60)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (5)
    • ►  September (8)
    • ►  August (5)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  May (8)
    • ►  April (9)
    • ►  March (2)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ►  2016 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (4)
    • ►  August (4)
    • ►  July (1)
    • ►  June (3)
    • ►  May (6)
    • ►  April (5)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
    • ►  January (6)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (7)
    • ►  November (4)
    • ►  October (3)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (4)
    • ►  June (4)
    • ►  May (6)
    • ►  April (3)
    • ►  March (6)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2014 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (5)
    • ►  June (3)
    • ►  May (5)
    • ►  April (4)
    • ►  March (5)
    • ►  February (5)
    • ►  January (6)
  • ►  2013 (13)
    • ►  December (5)
    • ►  November (2)
    • ►  October (6)

Search a Best Deal Hotel

Booking.com

Translate

Booking.com

FOLLOW ME @ INSTAGRAM

Most Read

  • 10 Info Tentang Kartu Myki, Alat Bayar Transportasi di Melbourne, Australia
  • 6 Rekomendasi Oleh-oleh dari Edinburgh, Skotlandia dan Kisaran Harganya
  • 8 Tip Naik Tram di Melbourne, Australia
  • My 2018 Highlights

About Me

Hi, I'm Yani. I have 15 years experience working in the media industry. Despite my ability to write various topics, my biggest passion is to write travel stories. By writing travel stories, I combine my two favourite things; travelling and writing. All the content in this blog are mine otherwise is stated. Feel free to contact me if you have questions or collaboration proposal :)

Contact Me

Name

Email *

Message *

Copyright © 2016 My Travel Stories. Created by OddThemes & VineThemes