My Travel Stories

Lots of memories I can't keep, that's why I write.

Powered by Blogger.
  • Home
  • Indonesia
  • Asia
  • Australia
  • Eropa
  • Amerika
  • Travel Tips
  • Itinerary
  • Portfolio



Situasi menunggu suntikan di halaman klinik
 

Alhamdulillah, setelah menunggu berbulan-bulan, akhirnya hari ini saya berhasil vaksin COVID-19 dengan menggunakan vaksin Pfizer. Begini ceritanya. 

Huru-hara Vaksin AstraZeneca di Australia

Pertama kali Australia melakukan vaksin ke warganya adalah 22 Februari 2021. Tentu saja saat itu ditujukan untuk kelompok prioritas terlebih dahulu, seperti petugas kesehatan, para pekerja di perbatasan dan area karantina, serta para kerja di panti jompo dan yang merawat kelompok difabel. 

Setelah itu baru ke masyarakat luas yang dibagi juga prioritasnya berdasarkan kelompok usia. Sama seperti negara-negara lainnya, lansia menjadi prioritas dibandingkan kelompok usia lainnya. Karena itu, kedua mertua saya sudah lebih dulu mendapatkan akses vaksin. Keduanya mendapatkan vaksin AstraZeneca. Bapak mertua saya tidak mengalami efek samping sama sekali sementara ibu mertua saya sempat merasa demam dan tidak enak badan selama dua hari dan bisa teratasi hanya dengan minum panadol. 

Nah, huru-hara vaksin AstraZeneca mulai terjadi ketika banyak yang melaporkan mengalami efek samping penggumpalan darah, dan bahkan sampai ada yang meninggal karenanya. Dan semua yang mengalami efek samping parah tersebut adalah yang berusia 60 tahun ke bawah. 

Meskipun presentasi yang mengalami efek samping ini cukup kecil, sih. Menurut situs resmi departemen kesehatan Australia, ada 112 kasus efek samping penggumpalan darah dari sekitar 8,1 juta dosis vaksin yang sudah diberikan (data per 15 Agustus 2021). Itu berarti hanya sekitar 0.0014%. Kecil sekali kan? 

Namun karena adanya yang mengalami efek samping tersebut, pemerintah Australia memberikan pilihan bagi warganya yang berusia 60 tahun ke bawah, boleh memilih vaksin Pfizer atau AstraZeneca. Teman saya di Sydney tanapa khawatir memilih vaksin AstraZeneca dan dia baik-baik saja setelah vaksin.

Dengan adanya dua pilihan vaksin, tentu ini memberikan kenyamanan pada warga untuk bisa memilih. Tapi berbeda dengan vaksin AstraZeneca yang ketersediaannya banyak dan ada di banyak klinik di Australia, Pfizer belum sebanyak itu. 

Dua bulan terakhir, Shannon beberapa kali bertanya di klinik terdekat, hanya 10 menit dari rumah kami, tapi mereka belum punya Pfizer sementara persediaan AstraZeneca mereka selalu ada. Sampai akhirnya Kamis kemarin mereka bilang Pfizer akan tersedia sebentar lagi dan kami dapat slot untuk tanggal 14 September. 

Akhirnya Divaksin Pfizer

Untungnya kami tidak harus menunggu sampai 14 September karena kemarin, Jumat sore, kami dapat kabar dari klinik yang berbeda, yang berjarak 20 menit dari rumah bahwa kami bisa divaksin Pfizer hari ini. Ini bisa terjadi karena ibu mertua saya, Helen yang menelpon beberapa klinik di sekitaran rumah pada awal minggu ini. 

Helen mendaftarkan saya, Shannon dan adik Shannon, Hannah. Kami dapat jadwal selang 15 menit. Mulai dari Hannah pukul 10.00 dan saya yang terakhir pukul 10.30. Kami pergi bersamaan ke klinik dan tiba di sana sekitar pukul 09.53. 

Begitu sampai klinik, kami semua check-in melalui aplikasi Victorian Government dan mensterilkan tangan dengan handsanitizer sebelum masuk klinik. Saat masuk klinik dan menjelaskan kedatangan kami, petugas loket memberikan formulir yang harus kami isi, yaitu formulir pendaftaran klinik dan formulir vaksin, yang isiannya tidak jauh berbeda karena mayoritas menanyakan data pribadi pasien. 

Selanjutnya kami harus menunggu sampai dipanggil giliran untuk divaksin. Kami memutuskan menunggu di halaman karena ruangan klinik yang kecil. Saat menunggu, saya mencoba menghitung jumlah orang, yang ternyata hanya ada 11 orang. 5 orang sudah divaksin, 1 orang ada di dalam sedang menerima vaksin dan 5 lainnya, termasuk kami bertiga menunggu untuk divaksin. 

Pukul 10.30, kami bertiga dipanggil secara bersamaan, masuk ruangan suntik bersamaan dan pukul 10.40 kami bertiga sudah keluar ruangan suntik. Begitu selesai, Shannon kembali ke petugas resepsionis, dan petugas wanita tersebut memberikan kartu untuk jadwal vaksin dosis ke-2 yang dijadwalkan tepat tiga minggu dari sekarang. Setelah itu kami bertiga menunggu selama 15 menit di halaman klinik untuk melihat apakah ada reaksi langsung, sebelum akhirnya pulang.

Bagaimana Rasanya?

Sebelum disuntik petugas kesehatan yang bernama Mo bertanya kepada saya, apakah saya punya alergi obat dan apakah saya pernah mengalami efek samping ketika divaksin (apapun).  Saya jawab tidak. 

Namun saya bilang kepada dia bahwa saya punya penyakit asma."Apakah aman untuk saya divaksin?" tanya saya. Lalu dia berkata bahwa vaksin ini sangat aman dan justru dibuat untuk orang-orang seperti saya. Wah GR dong saya ya, orang asma dapat perlakukan khusus. Hehehe...

Tentunya bukan seperti itu juga, sih. Saya paham bahwa COVID-19 ini menyerang area pernapasan. Untuk orang-orang yang punya masalah di area pernapasan, seperti orang dengan riwayat Asma, tentu COVID-19 ini bisa berakibat fatal. Karena itu sangat baik bila divaksin karena bisa mencegah gejala parah dari COVID-19. 

Sebenarnya saya sudah berkonsultasi dengan dokter asma saya mengenai keamanan vaksin untuk penderita asma. Dan dokter saya berkata kurang lebih sama seperti yang dikatakan petugas vaksin. Justru yang punya riwayat asma akan bagus sekali untuk divaksin. 

Lalu apa yang saya rasakan setelah divaksin? Saya mengetik ini sekitar hampir 7 jam setelah divaksin dan sejauh ini belum berasa apa-apa. Kalaupun ada yang dirasa hanya pegal sedikit di area suntikan. Ini sih, hal yang wajar karena tiap kali saya disuntik saya mengalami pegal sedikit. 

Hannah pun mengaku merasakan hal yang sama dengan saya. Sementara Shannon merasa sedikit pusing. Yang baru saja dia rasakan selama 30 menit terakhir.

Tentunya kami berharap tidak ada efek samping yang terlalu berarti. Amiiin.

Yuk, Divaksin!

Untuk yang masih ragu mau vaksin karena pemberitaan mengenai efek samping vaksin, saya mau bilang bahwa pada kenyataannya jauuuh lebih banyak yang meninggal karena COVID-19 dibandingkan karena vaksin. Ini berarti prosentasi vaksin jauh lebih aman dibandingkan tidak divaksin.  

Kalau ragu karena alasan medis, misalnya punya penyakit bawaan, saran saya lebih baik konsultasikan dulu ke dokter yang biasa menangani penyakit kita. Selain saya, kedua orang tua saya yang divaksin Sinovac di Indonesia juga sempat berkonsultasi ke dokter mereka sebelum memutuskan vaksin. 

Bapak saya punya riwayat penyakit  jantung dan mama saya punya darah tinggi dan maag akut, dan dokter-dokter mereka berkata aman untuk mereka divaksin. Paling saran dokter mama saya adalah agar mama saya minum obat darah tinggi dan maag-nya beberapa jam sebelum vaksin. Alhamdulillah mereka sudah dua kali suntik dan baik-baik saja.  

Menurrut saya, vaksin bukan hanya untuk melindungi diri sendiri tapi juga keluarga dan lingkungan sekitar kita. Terutama bagi saya adalah untuk melindungi Noah dan anak-anak kecil lainnya yang belum bisa divaksin tapi sangat bisa tertular dari kita orang dewasa. Dengan divaksin kita mengurangi prosentasi penyebaran virus. Itu berarati ikut melindungi anak-anak kita. Karena itu, kalau memang kondisi kesehatan kita dinyatakan boleh divaksin COVID-19, yuk kita vaksin! 

----------@yanilauwoie----------


Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h


Blog Sebelumnya:
  • Road Trip di Australia Saat Pandemi, Begini Rasanya ke Tempat Bebas COVID-19

  • Pengalaman Road Trip di Australia saat Pandemi Corona

  • Road Trip Australia Selatan: Drama Penginapan

  • Road Trip Australia Selatan: Tes Swab COVID-19 Pertama Kali

  • Mahalnya Nyalon di Australia!




 

Dua kali road trip antar negara bagian di Australia saat pandemi, dua-duanya membuat saya merasa seperti hidup di dunia lain. Tepatnya dunia sebelum COVID-19 hadir dan memporakporandakan semuanya.

Hari itu, saya, Shannon dan Noah sampai di Canberra, ACT menjelang malam, setelah menempuh perjalanan darat sekitar 8 jam. Setelah check-in di apartemen yang akan kami tempati selama kurang lebih dua minggu, kami mencari makan malam ke luar. 

Berjalanlah kami ke area restoran yang terletak di pinggir danau. Saya melihat ke sebuah restoran, orang-orang yang ada di dalamnya duduk berdekatan sambil tertawa-tawa dengan santai. Antara meja yang satu dengan yang lainnya pun jaraknya tidak terlalu berarti. Saya kemudian melihat ke restoran lainnya dan yang lainnya, kok semuanya sama. Tidak ada jarak berarti di antara mereka. 

"Orang-orang di sini kok, kayaknya nyantai banget ya, duduk saling berdekatan? Seperti hidup di dunia yang nggak ada COVID-nya," ucap saya kepada Shannon. Dan Shannon dengan entengnya menjawab, "Karena di sini memang tidak ada COVID." 

Saat kami ke Canberra Februari lalu, situasi di Canberra memang sangat aman, karena tidak ada outbreak COVID-19 untuk sekian lama. Karena itu, saat saya mengunjungi mal, restoran, dan tempat-tempat publik lainnya, tidak ada aturan untuk memakai masker. 

Satu-satunya yang membuat saya merasa bahwa kita masih di tengah pandemi adalah saat mau masuk ke kafe, restoran, toko dan tempat umum lainnya adalah harus check-in dan menggunakan handsanitizer terlebih dahulu, serta pembatasan jumlah orang dalam satu ruangan tertentu. Sebenarnya anjuran menjaga jarak juga disebutkan di mana-mana tapi kok, kayaknya itu tidak dilakukan ya. Paling tidak itu yang saya lihat di kafe dan restoran. 

Saat di Canberra, kami sempat bertemu teman lama Shannon. Berkunjung ke rumah mereka, mereka juga berkunjung ke apartemen kami dan kami sempat juga makan bersama di kafe, tanpa masker dan saling berdekatan. Saat itu saya merasa, ya Tuhan saya sungguh kangen masa-masa ini. Masa bersosialisasi tanpa rasa khawatir. Untuk sementara saya sempat merasa bahwa COVID-19 tidak pernah ada. 

Hal yang kurang lebih sama saya rasakan ketika melakukan road trip ke Australia Selatan sekitar dua bulan lalu. Datang dari negara bagian yang mengharuskan memakai masker, begitu sampai di Australia Selatan kami masih terbawa melakukan hal yang sama saat masuk ke supermarket. Lalu tersadar ketika melihat semua orang tanpa masker dan mereka menatap kami yang bermasker dengan aneh.

Sama seperti di Canberra, saya tidak melihat orang terlalu menjaga jarak ketika berada di kafe atau restoran di sini. Dan peraturan untuk kumpul-kumpul pun masih diperbolehkan saat itu. Shannon, saya dan Noah sempat 'terjebak' ketika melewati sebuah kafe di Adelaide saat kami mau ke parkiran mobil.

Kafe tersebut terletak di sebuah gang. Layaknya kafe-kafe lain di Australia dengan lokasi seperti ini, meja-meja mereka biasanya memang memenuhi gang. Jadi ruang untuk pejalan kaki tidak terlalu luas. 

Nah, saat kami mau melewati kafe tersebut, kami memang sudah melihat kumpulan manusia yang sangat banyak. Tapi kami melihat celah untuk tetap bisa jalan melewati gerombolan manusia tersebut untuk sampai ke tujuan kami. 

Eh tapi siapa sangka, begitu kami sudah berada di situ, tiba-tiba semua orang berdiri dan menyanyikan happy birthday secara serentak saat seseorang di antara mereka membawa kue ulang tahun lengkap dengan lilin. Saya yang menggendong Noah dan Shannon yang berada di depan saya terjebak di tengah-tengah karena orang-orang tersebut menutupi jalan kami. 

Untuk beberapa saat saya merasa, enak sekali hidup mereka yang bisa kumpul sama teman-teman dan mungkin keluarga untuk merayakan ulang tahun di sebuah kafe. Suatu momen yang rasanya tidak mungkin saya lakukan di situasi seperti ini. Bahkan saya tidak ingat kapan terakhir kali merayakan ulang tahun seseorang dengan kumpul-kumpul seperti itu. Indahnya dunia tanpa COVID-19.

Di Australia Selatan, check-in di suatu tempat, baik melalui app maupun manual, juga merupakan keharusan, dan handsanitizer juga selalu tersedia saat memasuki toko, kafe atau restoran. Info tentang COVID-19 juga ada di tempat-tempat umum.

Tapi karena di sini juga hampir tidak ada outbreak dan ketika ada pun jumlahnya sangat kecil dan bisa segera ditekan, maka kehidupan juga terasa normal. Kami bebas mengunjungi area wisata tanpa cemas meskipun dikelilingi banyak orang, bebas makan di restoran sambil duduk berdekatan dengan orang lain tanpa khawatir, dan santai ketika berbicara dengan orang asing tanpa memakai masker. Hal-hal yang sangat biasa kita lakukan dulu namun menjadi suatu hal yang luar biasa di masa pandemi ini.  

Tapiiiii, tentunya tidak ada yang abadi ya, terutama di zaman pandemi ini. Sekitar hampir sebulan trip kami selesai, Adelaide lockdown selama seminggu (dari minggu ke-3 hingga ke-4 Juli 2021) karena ada 5 kasus COVID-19. Yap, segitu grecepnya, ada 5 kasus saja langsung lockdown. Strategi yang bagus sebelum menyebar kemana-mana. 

Begitu juga dengan Canberra. Saat saya mengetik ini, mereka sedang lockdown sampai dengan 19 Agustus 2021, yang bisa saja diperpanjang bila kasus tidak menurun. Lebih gercep dari Adelaide, mereka memutuskan lockdown saat ditemukan satu kasus saja. Ckckckck.

Menurut Canberra Weekly, ini adalah kasus pertama setelah lebih dari 100 hari ACT bebas COVID-19. Dan sampai hari ini (15 Agustus 2021) mereka memiliki 9 kasus aktif. 

Kalau di Victoria mah jangan ditanya, langganan lockdown. Saat ini, Melbourne sedang lockdown ke-6. Untungnya, saya tinggal di regional Victoria. Meskipun ada pembatasan-pembatasan tertentu, misalnya tidak boleh saling berkunjung ke rumah orang tapi paling tidak kami bisa bepergian ke area regional Victoria lainnya. 

Berbeda dengan Melbourne yang pembatasannya jauh lebih ketat, seperti hanya boleh bepergian sejauh 5KM, itu pun untuk hal yang esensial. Dengan jumlah penduduk paling padat di Victoria dan kedua di Australia, tidak heran bila Melbourne akan selalu menjadi langganan outbreak. 

Meskipun Victoria langganan lockdown, saya tetap merasa beruntung bisa berada di sini di tengah pandemi karena banyak daerah di negara lain yang kondisi COVID-nya parah sehingga bernapas aja menjadi sesuatu yang menakutkan. 

Ah, saya sungguh berharap dunia cepat pulih dan keadaan kembali normal. Sambil menunggu hal tersebut datang, saya berdoa semoga kita semua tetap diberikan kesehatan fisik dan mental. 

----------@yanilauwoie----------


Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h


Blog Sebelumnya:
  • Pengalaman Road Trip di Australia saat Pandemi Corona

  • Road Trip Australia Selatan: Drama Penginapan

  • Road Trip Australia Selatan: Tes Swab COVID-19 Pertama Kali

  • Mahalnya Nyalon di Australia!

  • 7 Tempat Wisata Gratis di Canberra, Australia yang Ramah Bayi 


 







Newer Posts Older Posts Home

My Travel Book

My Travel Book
Baca yuk, kisah perjalanan saya di 20 negara!

My Travel Videos

Connect with Me

Total Pageviews

Categories

Amerika Serikat Australia Belanda Belgia Ceko Denmark Hong Kong Indonesia Inggris Irlandia Italia Jepang Jerman Korea Selatan Macau Malaysia Prancis Singapura Skotlandia Spanyol Thailand Vietnam

Blog Archive

  • ►  2025 (4)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2024 (12)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2023 (7)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2022 (6)
    • ►  October (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ▼  2021 (19)
    • ►  December (2)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ▼  August (2)
      • Pengalaman Suntik Vaksin COVID-19 Pfizer di Austra...
      • Road Trip di Australia Saat Pandemi, Begini Rasany...
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2020 (4)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2019 (51)
    • ►  December (4)
    • ►  November (3)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (3)
    • ►  June (5)
    • ►  May (4)
    • ►  April (5)
    • ►  March (10)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ►  2018 (30)
    • ►  December (8)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (5)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2017 (60)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (5)
    • ►  September (8)
    • ►  August (5)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  May (8)
    • ►  April (9)
    • ►  March (2)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ►  2016 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (4)
    • ►  August (4)
    • ►  July (1)
    • ►  June (3)
    • ►  May (6)
    • ►  April (5)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
    • ►  January (6)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (7)
    • ►  November (4)
    • ►  October (3)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (4)
    • ►  June (4)
    • ►  May (6)
    • ►  April (3)
    • ►  March (6)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2014 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (5)
    • ►  June (3)
    • ►  May (5)
    • ►  April (4)
    • ►  March (5)
    • ►  February (5)
    • ►  January (6)
  • ►  2013 (13)
    • ►  December (5)
    • ►  November (2)
    • ►  October (6)

Search a Best Deal Hotel

Booking.com

Translate

Booking.com

FOLLOW ME @ INSTAGRAM

Most Read

  • 10 Info Tentang Kartu Myki, Alat Bayar Transportasi di Melbourne, Australia
  • 6 Rekomendasi Oleh-oleh dari Edinburgh, Skotlandia dan Kisaran Harganya
  • 8 Tip Naik Tram di Melbourne, Australia
  • My 2018 Highlights

About Me

Hi, I'm Yani. I have 15 years experience working in the media industry. Despite my ability to write various topics, my biggest passion is to write travel stories. By writing travel stories, I combine my two favourite things; travelling and writing. All the content in this blog are mine otherwise is stated. Feel free to contact me if you have questions or collaboration proposal :)

Contact Me

Name

Email *

Message *

Copyright © 2016 My Travel Stories. Created by OddThemes & VineThemes