My Travel Stories

Lots of memories I can't keep, that's why I write.

Powered by Blogger.
  • Home
  • Indonesia
  • Asia
  • Australia
  • Eropa
  • Amerika
  • Travel Tips
  • Itinerary
  • Portfolio
Beberapa hari lalu saya mendapat curhatan dari seorang teman dekat, Stacey. Dia cerita tentang perdebatannya dengan teman kantornya perihal jalan-jalan sendiri atau ikutan tur. Maksudnya sendiri di sini adalah mengatur segala sesuatunya secara independen tanpa menggunakan jasa travel agent atau tour operator. Saya pernah mencoba keduanya. Keduanya sama-sama ada plus dan minusnya. Tergantung dari kebutuhan kita saat itu. Berikut plus dan minusnya berdasarkan pengalaman saya.

 Saya di Seoraksan National Park, Korea Selatan

Plusnya jalan-jalan ikutan tur:
  • Yang paling menyenangkan dari jalan-jalan ikutan tur adalah kita tinggal terima beres. Nggak perlu ribet mengurusi itinerary, transportasi, akomodasi, konsumsi, dan segala sesuatunya. Tinggal bayar dan semuanya sudah beres. 
  • Bisa menghemat biaya. Saya pernah ikutan trip bareng Jejakkaki ke Pangandaran. Waktu itu (tahun 2008), saya hanya perlu bayar 600 ribuan untuk perjalanan 3 hari 2 malam ke Pantai Pangandaran, Green Canyon, dan sekitarnya. Saya yakin kalau saya pergi dengan mengatur sendiri biayanya pasti akan membengkak karena harus sewa mobil, perahu, penginapan, dan lain-lainnya.
  • Bisa dapat teman baru yang memiliki interest kurang lebih sama, yaitu traveling.
  • Nggak perlu khawatir nyasar karena sudah ada guide yang membimbing. Ketika saya dapat tugas kantor untuk liputan wisata Korea Selatan, pihak yang mengundang menggunakan jasa travel agent, WITA Tour. Memiliki tour guide profesional yang tahu benar harus membawa kami kemana, tentu membuat timeline perjalanan lancar karena terbebas dari nyasar nggak jelas. Untuk saya yang saat itu datang ke Korea Selatan untuk bekerja, tentu hal ini sangat membantu. 
Minusnya jalan-jalan ikutan tur:
  • Itinerary tidak fleksibel. Rata-rata travel agent atau tour operator sudah memiliki itinerary yang tidak bisa diganggu gugat (kecuali ada force majeure). Ini agak menyulitkan untuk saya yang ingin mendapatkan pengalaman lebih. Contohnya ketika saya ada di  Seoraksan National Park, Korea Selatan, saya ingin berada di tempat itu lebih lama karena selain pemandangannya luar biasa indah, itu pertama kalinya saya melihat salju. Tapi saya nggak bisa berlama-lama di situ karena harus mengikuti jadwal untuk mengunjungi tempat-tempat lainnya. 
  • Kurang berinteraksi dengan masyarakat lokal. Bukan berarti nggak bisa berinteraksi sama sekali sih, tapi interaksinya jadi terbatas karena kita kemana-mana hanya bersama rombongan tur kita. 
  • Kurang menantang. Karena semuanya sudah diatur dan tinggal mengikuti saja sesuai rencana dan itinerary dari pihak tur, bagi saya yang senang berpetualang, ikutan tur kurang menantang jiwa petualang saya. 
  • Kurang mendapatkan "me moment". Ketika saya berada di satu tempat yang benar-benar saya sukai, saya suka berdiam diri di tempat tersebut selama yang saya mau. Merasakan atmosfer tempat tersebut masuk ke dalam diri saya. Ini agak sulit dilakukan ketika saya bersama rombongan tur. Bukan berarti tidak bisa tapi lagi-lagi terbentur pada waktu yang cepat dan tidak bisa selama yang saya mau.  
 Asun dan Manolo, pasangan yang menolong saya dan teman-teman ketika tersasar di Barcelona, Spanyol

Plusnya jalan-jalan dengan mengatur sendiri:
  • Bebas mengatur itinerary. Bebas menentukan tujuan. Kayak ketika saya melakukan EuroTrip bersama kedua teman saya, kami bebas mengatur negara dan tempat-tempat wisata yang mau kami kunjungi dan mana yang tidak. Bahkan di antara kami bertiga pun, kami saling memberikan kebebasan bila ada tujuan yang berbeda. Jadi tempat yang dikunjungi benar-benar apa yang saya mau.
  • Bebas mengatur waktu. Mau ke luar hotel subuh banget atau justru setelah makan siang, mau datang ke tempat yang sama dua hari berturut-turut, atau hang out berjam-berjam di pusat perbelanjaan atau kafe? Bebas! Karena nggak ada tour guide yang jadi time keeper. Yang penting selama kita sepakat dengan teman perjalanan kita, semuanya bebas diatur sesuka-suka kita. 
  • Menambah wawasan. Ketika saya akan mengunjungi suatu negara, saya pasti akan mencari tahu banyak hal tentang negara tersebut, mulai dari sistem transportasinya, tempat wisatanya, sampai hal-hal kecil tapi penting seperti bentuk colokan listriknya. Hal ini membuat saya banyak baca dan akhirnya jadi banyak tahu.
  • Menikmati petualangan. Bagi saya nyasar di suatu tempat baru itu seru. Saya pernah nyasar di Paris, Barcelona, dan entah di kota mana lagi. Dan saya tidak melihat itu sebagai suatu hal yang buruk karena itulah bagian dari traveling. Itu yang membuat traveling menjadi berwarna karena pasti ada pengalaman yang bisa dipetik dari situ. To me, traveling is not only the destination but the journey it self. 
  • Act like a local. Ketika pergi dengan tur, rata-rata tempat yang dikunjungi adalah yang sangat touristy. Tapi kalau pergi sendiri kita bisa menjelajah lebih dari itu. Bisa mengunjungi tempat-tempat seru yang banyak diburu orang-orang lokal dan berinteraksi dengan mereka.   
Minusnya jalan-jalan dengan mengatur sendiri: 
  • Repot. Karena semuanya diatur sendiri jadi harus ada usaha ekstra untuk mengatur semua hal. Harus rela browsing berbagai tempat wisata di malam hari (karena nggak mungkin browsing sana-sini di jam kerja), rajin memantau penerbangan yang sedang promo, dan melakukan berbagai persiapan lainnya.
  • Biaya bisa lebih mahal. Saya tidak bilang seluruh biaya jalan-jalan yang diatur sendiri pasti lebih mahal, ya. Karena tidak demikian. Tapi memang ada perjalanan-perjalanan tertentu yang lebih hemat bila dilakukan oleh banyak orang atau ikutan tur. Misalnya nih, ketika saya melakukan solo trip ke Irlandia, saya sempat mengunjungi Wicklow Mountain National Park dengan menggunakan jasa one day tour. Nggak kebayang kalau saya harus menyewa mobil ke tempat tersebut, pasti harganya akan jauh berkali-kali lipat.
  • Tempat wisata yang dikunjungi lebih sedikit. Waktu saya melakukan EuroTrip, dengan durasi 3 minggu saya hanya mengunjungi 6 negara. Sementara kalau melihat paket penawaran ke Eropa oleh para travel agent, dengan durasi selama itu, negara yang dikunjungi bisa jadi lebih banyak. Kenapa bisa begitu? Karena saya mengutamakan memperbanyak pengalaman dibandingkan memperbanyak destinasi. 

Dalam perjalanan, saya juga pernah menggabungkan keduanya, mengatur sendiri dan menggunakan jasa travel agent. Contohnya saat saya ke Hong Kong dan Macau. Saya dan ke-3 teman saya mengatur semuanya sendiri. Tapi ketika di Macau kami menggunakan jasa one day tour. Alhasil saya bisa mengunjungi tempat-tempat yang cukup penting di Macau hanya dalam waktu satu hari saja dengan harga yang masuk akal dibandingkan kami pergi dengan kendaraan umum untuk mengunjungi satu per satu tempat.

Kalau ditanya mana yang lebih saya sukai? Apakah jalan-jalan dengan mengatur sendiri atau menggunakan jasa travel agent atau tour operator? Saya akan jawab, tergantung kebutuhan, tujuan, uang, dan waktu saya saat itu. 

Punya pendapat sama atau berbeda? Mau dong, komentarnya :)

----------@yanilauwoie----------

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h

Blog Sebelumnya:
  • 5 Tip Wisata Kuliner Seafood di Muara Angke, Jakarta
  • Itinerary Trip Perth, Australia
  • 3 Tempat Makanan Halal di Bangkok, Thailand
  • 3 Alasan untuk Makan di Hause Rooftop Kitchen and Bar, Jakarta
 
Rabu, 15 Februari 2017, saya dan teman-teman kantor memutuskan untuk wisata kuliner ke Muara Angke, Jakarta. Tujuannya apalagi selain ingin makan seafood segar. 




Hari itu kami membeli ikan, udang dan cumi di Pasar Ikan Muara Angke. Kemudian seafood tersebut dimasakkan di salah satu warung yang ada di sekitar pasar ikan. Kami hanya perlu membayar jasa memasak, dan makanan lain yang kami makan (nasi, lalapan, dan minuman), di luar seafood yang kami beli.


Dari pengalaman wiskul hari tersebut, berikut tip wisata kuliner seafood di Muara Angke, Jakarta yang bisa saya bagi.


1. Datang mulai jam 3 siang. Kami sampai sana menjelang jam 12 siang. Saat itu pasar ikan sepi. Penjual yang ada bisa dihitung dengan jari. Menurut salah satu penjual, Pak Anom, pasar ikan ini sepi antara pukul 09.00-15.00 WIB. "Soalnya pada istirahat. Nanti jam 3-an baru mulai ramai," jelasnya. Menurut dia juga pasar ikan ini buka 24 jam. Tapi ya dengan konsekuensi di jam 9 pagi hingga 3 siang, penjualnya tidak banyak. Dengan kondisi sepi membuat kami tidak punya banyak pilihan, baik dari seafood yang dipilih maupun harga untuk tawar-menawar.


2. Cek perbandingan harga terlebih dahulu. Baik mengecek di pasar tradisional lain maupun pasar swalayan. Jangan sampai sudah sampai di pusat penjualan ikan di Jakarta tapi dapat harga yang lebih mahal dari beli ikan di pasar swalayan. Sampai di sana pun, jangan ragu untuk bertanya dari satu pedagang ke pedagang lain untuk perbandingan harga. Saya sendiri bukan orang yang pandai menawar. Maka saya serahkan urusan tawar menawar kepada teman-teman saya.

Berikut daftar harga seafood yang kami beli di Pasar Ikan Muara Angke:
  • Ikan kakap putih, 1,2 kilogram: Rp65.000,-
  • Ikan baronang, 1 kilogram: Rp60.000,-
  • Cumi, 1 kilogram: Rp70.000,-
  • Udang, 1 kilogram: Rp90.000,-
  • Kepiting (jantan atau telur), 1 kilogram: Rp150.000,- (Tidak tahu berapa harga pastinya karena kami hanya bertanya dan tidak membelinya. Jadi harusnya sih, bisa lebih murah dari ini setelah ditawar)
Saya yakin bila kami datang saat penjualnya sudah banyak, bisa dapat harga yang lebih murah dari harga di atas.


3. Lebih baik beli seafood di dalam pasar. Kabarnya penjual di depan pasar timbangannya kurang akurat. "Misalnya nih, beli ikan di luar pasar dapat 1,5 kilogram, padahal kalau ditimbang di sini hanya 1 kilogram," cerita Pak Anom. Bukan hanya Pak Anom saja yang bilang seperti itu. Penjual seafood lainnya yang ada di dalam pasar juga berkata hal yang sama. Saya nggak tahu apakah ini benar atau tidak tapi sebaiknya sih, dihindari. Ya kecuali kita sudah bisa tahu suatu berat dengan pasti.


4. Bertanya sebelum menggunakan jasa warung makan. Setelah belanja, langkah selanjutnya adalah memilih warung makan yang tepat untuk kita pakai jasanya dalam memasakkan seafood. Dari pasar ikan, kita tinggal melangkah ke arah kiri, di sana ada banyak rumah makan yang bisa membantu kita memasakkan seafood kita. Sebelum memilih rumah makan tertentu, sebaiknya tanya berapa tarif memasaknya, harga nasinya, dan minumannya. Karena ini pertama kalinya saya ke sana, saya tidak tahu mana warung makan yang masakannya enak. Jadi saat itu, hanya cap cip cup memilih warung makan bernama Putra Bone (Khas Sulawesi Selatan). Setelah bertanya, tarif memasaknya, harga nasinya, dan minumannya masuk akal, jadi kami putuskan mencobanya. Dan ternyata rasa masakannya juga cukup memuaskan.


Berikut daftar harga warung makan di Putra Bone, Muara Angke:
  • Makan per orang: Rp10.000,- (Sudah dapat nasi dan sambal. Sambalnya bisa minta tambah sementara nasinya bila tambah harus bayar Rp5.000,-. Misalkan ada yang tidak mau makan nasi, tetap harus bayar Rp10.000,- karena mereka menghitungnya jumlah orang yang hadir di rumah makan tersebut).
  • Lalapan: Rp5.000,- (Berisi kol, kemangi, dan ketimun).
  • Jasa bakar per kilogram: Rp20.000,- (Mau bakar ikan, cumi, atau apapun, harganya sama. Bila bakarnya hanya 1/2 kilogram maka harganya pun dibagi dua, yaitu Rp10.000,-)
  • Saos padang: Rp.30.000,- (Kami meminta udang kami dimasakkan dengan saos padang dan rasanya lumayan enak)
  • Goreng kering: Rp30.000,- (Ikan kakap putih kami digoreng kering. Gorengnya beneran kering dan bumbunya cukup berasa di lidah)
  • Goreng tepung: Rp20.000,- (Sebagai penggemar cumi goreng tepung, saya tidak ada komplain dengan rasa cumi goreng tepung yang mereka buat. Enak!)
  • Cah kangkung: Rp10.000,- (Kami tidak memesan ini karena makanan kami sudah terlalu banyak).
  • Aqua botol ukuran 500 ml: Rp5.000,-
  • Kelapa Muda: Rp15.000,-
  • Es jeruk: Rp10.000,-
  • Es teh manis: Rp5.000,- 


5. Sebaiknya lakukan wiskul dengan beberapa orang. Daripada ke sana sendirian atau berdua, lebih baik wiskul seafood ini dilakukan minimal lima orang. Jadi seafood yang didapat bisa aneka macam tapi harga tidak terlalu berat karena bisa dibagi bersama, dan makananpun tidak akan terbuang mubazir. Saya pergi dengan total tujuh orang dewasa dan satu anak kecil. Itu pun seafood yang terdiri dari ikan kakap, ikan baronang, cumi, dan udang yang masing-masing beratnya sekitar 1 kilogram, masih bersisa. Meskipun tidak banyak sisanya, tapi kayaknya cukup untuk dimakan sekitar dua orang lagi.


Booking.com

----------@yanilauwoie----------

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h

Blog Sebelumnya:
  • Itinerary Trip Perth, Australia
  • 3 Tempat Makanan Halal di Bangkok, Thailand
  • 3 Alasan untuk Makan di Hause Rooftop Kitchen and Bar, Jakarta
  • 5 Tip Berkunjung ke Planetarium Jakarta
Saya jalan-jalan ke Perth pada bulan Oktober 2015 lalu. Dari perjalanan yang hanya 4 hari 3 malam tersebut, ini kurang lebih itinerary trip Perth saya. 

https://www.instagram.com/p/BN7Eo4tAuC0/?taken-by=yanilauwoie
Bathurst Lighthouse di Rottnest Island

Hari 1: Keliling kota Perth. Ada beberapa spot wisata di ibukota Australia Barat ini. Baik itu spot wisata yang bisa diakses gratis maupun bayar. Dari beberapa pilihan, ada dua yang menurut saya wajib untuk dikunjungi, yaitu The Bell Tower dan Kings Park. Bell Tower salah satu ikon kota Perth. Di sini kita bisa belajar membunyikan lonceng tua dan bersejarah serta melihat pemandangan kota Perth dari ketinggian melalui teras lantai 6-nya. Waktu itu biaya masuknya 14 AUD. 

Sedangkan di Kings Park kita bisa masuk gratis dan melihat koleksi bunganya yang lebih dari 3000 jenis. Saya menghabiskan waktu agak lama di Kings Park, soalnya lahannya cukup luas untuk dijelajahi. Ketika sudah di sini, kita bisa mendapatkan pemandangan kota Perth di satu sisi dan Swan River di sisi lainnya. Ada juga glass bridge, jembatan yang terbuat dari kaca ini menarik untuk dijadikan spot foto. Saran saya, sebelum mengitari kawasan ini, mampir dulu ke kantornya, agar kita bisa mendapatkan arahan dari petugas, jalur mana saja yang banyak spot menariknya.   

Hari 2: Menjelajah luar kota Perth. Sebenarnya di luar kota Perth, ada banyak atraksi wisata. Namun karena saya tidak punya waktu banyak maka saya mengunjungi Rottnest Island & Fremantle. Untuk sampai ke Rottnest Island, saya menggunakan kapal ferry Rottnest Express. Kurang lebih 1,5 jam waktu yang dibutuhkan dari pelabuhan Perth ke pulau yang memiliki luas sekitar 19 km persegi ini. Biayanya waktu itu 119 AUD sudah dapat tiket PP dan sewa sepeda untuk keliling Rottnest. Karena saya pencinta pantai saya suka sekali dengan Rottnest. Pemandangannya indah dan airnya pun jernih dengan warna hijau kebiruan.  

Pulang dari Rottnest, saya turun di Fremantle yang memang searah. Jadi kalau dari Rottnest akan melewati pelabuhan Fremantle dulu sebelum sampai di Perth. Kota pelabuhan ini memiliki banyak bangunan kuno dan bersejarah, seperti Fremantle Town Hall dan Fremantle Prison. Cantik untuk difoto. Tapi karena saya ke sini menjelang malam, kotanya terlihat sepi. Ingin hemat ketika jalan-jalan ke Rottnest Island dan Fremantle? Baca blog saya yang ini ya.     


https://www.instagram.com/p/BNtzGiUgD0V/?taken-by=yanilauwoie
London Court

Hari 3: Wisata belanja di pusat kota Perth. Di area Hay Street & Murray Street banyak sekali pusat perbelanjaan.  Salah satu pusat perbelanjaan yang wajib dikunjungi adalah London Court. Tempat ini sebenarnya sebuah gang yang menghubungkan antara area Hay Street dengan St. Georges Terrace. Di sepanjang gang ini berderet aneka toko. Kalau pun nggak ingin belanja di sini nggak apa-apa tapi jangan sampai nggak foto. Soalnya gang ini cantik banget.  

Beda satu block dengan Hay Street, ada Murray Street. Bila di Hay Street saya menemukan nama-nama toko yang terdengar asing, di area ini toko-toko dengan brand ternama berjejer. Sebut saja Cotton On, Zara dan Topshop Topman. Untuk info lain mengenai wisata belanja di perth bisa dibaca di blog saya di sini.

Selama di Perth, saya menginap di area Northbridge, tepatnya di The Witch's Hat (review-nya bisa dibaca di sini). Enaknya menginap di area ini, banyak sekali kafe dan tempat makan yang bisa dikunjungi. Selain itu, di Northbridge Piazza suka ada event-event seru, termasuk pemutaran film gratis.


Booking.com

----------@yanilauwoie----------

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h

Blog Sebelumnya:
  • 3 Tempat Makanan Halal di Bangkok, Thailand
  • 3 Alasan untuk Makan di Hause Rooftop Kitchen and Bar, Jakarta
  • 5 Tip Berkunjung ke Planetarium Jakarta
  • Harga Makanan di Bangkok, Thailand

Berbeda dengan Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim, penduduk Thailand mayoritas beragama Buddha. Jadi mencari makanan halal di Thailand tentu tidak semudah mencari makanan halal di Indonesia. Namun untungnya di perjalanan singkat saya di Thailand pada akhir Agustus - awal September 2016, saya mendapatkan tour guide Thailand yang bukan hanya fasih berbahasa Indonesia namun juga muslim. Tour guide yang bernama Kun Kendo ini sangat membantu untuk mendapatkan makanan halal selama di Bangkok. Berikut adalah tiga tempat makanan halal di Bangkok yang bisa untuk dicoba.


1. Gerai C21 di Food Island, lantai 6, MBK. Makanan yang dijual di sini di antaranya nasi kuning, sup, dan tom yam. Yang saya coba adalah Tom Yam Noodle Soup with Fish Ball. Campurannya adalah mie putih, bakso ikan, tauge, semacam kerupuk kulit, dan pangsit goreng. Rasanya? Kuah tom yam-nya sangat berasa. Enak dan segar. Harganya pun hanya 50 bath.    

2. Gerai A25 di Food Island, lantai 6, MBK. Makanan yang dijual di sini adalah aneka kebab. Kebab ayam dengan harga 80 bath dan kebab sapi dengan harga 100 bath. Saya yakin ada kebab-kebab lainnya karena memang gerai ini khusus menjual kebab. Tapi tidak ada satupun makanan yang saya coba dari gerai ini. Kenapa? Karena saya datang ke Food Island ini hanya sekali. Dan saya memutuskan untuk mencoba makan Tom Yam di gerai C21. 

3. Gerai Yusuf Briyani, Paragon Food Hall, lantai dasar, Siam Paragon. Makanan yang dijual di sini adalah aneka ayam. Ayam bakar, ayam goreng, satai ayam. Jual nasi juga. Ada nasi putih dan nasi kuning. Di sini saya memesan Chicken Satay. Isinya terdiri dari 7 tusuk sate ayam (dengan potongan yang lumayan besar), beserta satu lapis roti tawar yang dibagi empat, lalu ada bumbu kacang dan acar (irisan cabe, bawang merah) yang ditempatkan terpisah. Harganya 150 bath. Rasanya? Bila disuruh memilih antara makan satai ayam ini dengan satai ayam abang-abang pinggir jalan yang ada di Jakarta, saya lebih memilih yang terakhir ;p

Sebenarnya mudah untuk mengidentifikasi apakah gerai tersebut menjual makanan halal atau tidak, kita hanya perlu melihat sertifikasi halal yang biasanya tertempel di gerai tersebut. Setidaknya itu yang saya lihat di ketiga gerai tersebut di atas. 

Lalu bagaimana dengan gerai penjual dessert-dessert-an? Saya tidak melihat adanya sertifikasi halal di gerai dessert yang makanannya saya coba, baik itu gerai dessert yang ada di MBK maupun Siam Paragon. 

Menurut Kun Kendo, dessert-dessert-an ini cukup aman karena tidak mengandung babi. Tapi seperti yang kita ketahui, untuk makanan dikategorikan halal bukan hanya terletak pada apakah makanan itu mengandung babi atau tidak. Tapi juga cara mengolah atau membuat makanan itu sendiri. 

Tapi saya selalu percaya bahwa Tuhan selalu tahu niat baik saya. Jadi dengan membaca Bismillah saya putuskan untuk mencoba aneka dessert yang ada di sana, seperti ketan durian dan mango sticky rice. Dua dessert ini rasanya uenak banget! 

Hal yang sama saya terapkan ketika saya makan makanan dari para penjual makanan di Indonesia yang belum ada sertifikasi halal dari MUI (seperti warteg, nasi goreng pinggir jalan, satai pinggir jalan, dll), baca doa dan percaya yang saya makan baik. :)


 3 rekomendasi makanan Thailand wajib coba versi saya

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h

Blog Sebelumnya:
  • 3 Alasan untuk Makan di Hause Rooftop Kitchen and Bar, Jakarta
  • 5 Tip Berkunjung ke Planetarium Jakarta
  • Harga Makanan di Bangkok, Thailand
  • Naik Jakarta City Tour Bus untuk Pertama Kalinya, Ini 7 Hal yang Saya Simpulkan


Newer Posts Older Posts Home

My Travel Book

My Travel Book
Baca yuk, kisah perjalanan saya di 20 negara!

My Travel Videos

Connect with Me

Total Pageviews

Categories

Amerika Serikat Australia Belanda Belgia Ceko Denmark Hong Kong Indonesia Inggris Irlandia Italia Jepang Jerman Korea Selatan Macau Malaysia Prancis Singapura Skotlandia Spanyol Thailand Vietnam

Blog Archive

  • ►  2025 (4)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2024 (12)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2023 (7)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2022 (6)
    • ►  October (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2021 (19)
    • ►  December (2)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (2)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2020 (4)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2019 (51)
    • ►  December (4)
    • ►  November (3)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (3)
    • ►  June (5)
    • ►  May (4)
    • ►  April (5)
    • ►  March (10)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ►  2018 (30)
    • ►  December (8)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (5)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ▼  2017 (60)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (5)
    • ►  September (8)
    • ►  August (5)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  May (8)
    • ►  April (9)
    • ►  March (2)
    • ▼  February (4)
      • Lebih Seru Jalan-jalan Sendiri atau Ikutan Tur?
      • 5 Tip Wisata Kuliner Seafood di Muara Angke, Jakarta
      • Itinerary Trip Perth, Australia
      • 3 Tempat Makanan Halal di Bangkok, Thailand
    • ►  January (4)
  • ►  2016 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (4)
    • ►  August (4)
    • ►  July (1)
    • ►  June (3)
    • ►  May (6)
    • ►  April (5)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
    • ►  January (6)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (7)
    • ►  November (4)
    • ►  October (3)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (4)
    • ►  June (4)
    • ►  May (6)
    • ►  April (3)
    • ►  March (6)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2014 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (5)
    • ►  June (3)
    • ►  May (5)
    • ►  April (4)
    • ►  March (5)
    • ►  February (5)
    • ►  January (6)
  • ►  2013 (13)
    • ►  December (5)
    • ►  November (2)
    • ►  October (6)

Search a Best Deal Hotel

Booking.com

Translate

Booking.com

FOLLOW ME @ INSTAGRAM

Most Read

  • 10 Info Tentang Kartu Myki, Alat Bayar Transportasi di Melbourne, Australia
  • 6 Rekomendasi Oleh-oleh dari Edinburgh, Skotlandia dan Kisaran Harganya
  • 8 Tip Naik Tram di Melbourne, Australia
  • My 2018 Highlights

About Me

Hi, I'm Yani. I have 15 years experience working in the media industry. Despite my ability to write various topics, my biggest passion is to write travel stories. By writing travel stories, I combine my two favourite things; travelling and writing. All the content in this blog are mine otherwise is stated. Feel free to contact me if you have questions or collaboration proposal :)

Contact Me

Name

Email *

Message *

Copyright © 2016 My Travel Stories. Created by OddThemes & VineThemes