My Travel Stories

Lots of memories I can't keep, that's why I write.

Powered by Blogger.
  • Home
  • Indonesia
  • Asia
  • Australia
  • Eropa
  • Amerika
  • Travel Tips
  • Itinerary
  • Portfolio


Pernah nggak, ngiler mengunjungi satu tempat karena melihat foto-foto yang bagus tersebar di situs-situs perjalanan atau media sosial? Nah, itu yang menjadi alasan saya saat memutuskan mengunjungi Arashiyama Bamboo Forest atau Arashiyama Bamboo Grove di Kyoto, Jepang. Saya naksir karena tempat ini terlihat fotogenik. Tapi bagaimana realitanya?

Saya tidak punya banyak waktu di Kyoto. Karena itu, layaknya turis yang baru pertama kali menginjak suatu tempat, saya mengunjungi tempat-tempat wisata yang banyak direkomendasikan di berbagai situs, termasuk di antaranya Arashiyama Bamboo Forest. 

Berdasarkan penelurusan yang saya temukan, foto yang saya lihat adalah suatu jalan kecil atau gang yang kiri kanannya dipenuhi pohon bambu yang menjulang tinggi. Gambar tersebut terlihat sangat hijau dan teduh, membuat saya tertarik! 

Karena itu, saat saya dan Biru punya satu hari untuk mengeksplorasi Arashiyama pada April 2019, saya wanti-wanti sama Biru bahwa kami harus mengunjungi Arashiyama Bamboo Forest. 

Untuk mempermudah keliling Arashiyama, kami menyewa sepeda elektrik. Dengan begini, lokasi yang dijelajahi bisa lebih luas dan kaki pun bebas pegal. Lokasi Arashiyama Bamboo Forest sendiri tidaklah terlalu sulit ditemukan. Tidak jauh dari Arashiyama - Sagano Station. Sekitar lima menit mengayuh sepeda dari stasiun tersebut, kami sudah sampai di mulut gang Arashiyama Bamboo Forest. 

Melihat manusia yang luar biasa penuhnya, kami putuskan untuk melihat-lihat tempat lain dulu di Arashiyama, termasuk ke Togetsukyo Bridge dan Adashino-Nembutsu-ji Temple, yang letaknya berada di atas bukit dan cukup jauh dari Arashiyama Bamboo Forest. 




Setelah mengelilingi Arashiyama, baru pada sore harinya kami mengunjungi Bamboo Forest, yang menjadi destinasi terakhir pada hari itu. Setelah menyasar ke sana ke mari dan diburu waktu karena harus mengembalikan sepeda tepat pukul 17.00, akhirnya sampai juga ke tujuan. 


Lalu kami memutuskan untuk memarkir sepeda dan berjalan kaki karena ramainya manusia. Setelah berjalan ke sana kemari, saya mulai merasa, kok biasa saja, ya? Apa jangan-jangan saya berada di lokasi yang salah? 


Saya pun berjalan lebih jauh lagi. Kali ini saya yakin berada di lokasi yang tepat tapi, kok, gini, doang? Jauh banget sama yang saya lihat di foto. Pohon bambunya terlihat jarang dan manusianya terlalu banyak, jadi jauh banget dari kesan rimbun dan teduh yang saya harapkan.  


Saya pun mengunggah foto Bamboo Forest ini di Instagram Story saya dengan mengungkapkan apa yang saya rasakan. Tak diduga banyak yang merespon. Ada yang merespon bahwa saya salah lokasi, ada yang bilang bahwa pohon bambunya sedang tidak rimbun dan ada juga yang sependapat dengan saya bahwa pohon bambu tersebut, "ya gitu, doang". 


"Di kampung gue juga banyak kayak gitu, mah", ucap salah satunya yang sudah bolak-balik ke Jepang, termasuk mengunjungi si Bamboo Forest. Hahaha...


Saya paham tiap orang pasti memiliki pengalaman yang berbeda-beda saat mengunjungi suatu tempat, termasuk Bamboo Forest ini. Tapi kalau berdasarkan pengalaman pribadi saya, kalimat yang paling tepat untuk menggambarkannya adalah: "Lah gini, doang? Di Indonesia juga banyak kalau cuma bambu kayak gini, doang!" 


Pernah ke Bamboo Forest ini juga? Sependapat dengan saya atau justru beda? Jangan ngamuk ya kalau pendapatnya beda. Hahaha... 



Booking.com
----------@yanilauwoie----------

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h




Blog Sebelumnya:
  • 7 Alasan untuk Menginap di CMM Crystate Kyoto (Aparthotel yang Dekat Stasiun Kyoto, Jepang)
  • Tip Ditolak Sopir Taksi di Jepang
  • Harga Makanan di Tokyo, Osaka, dan Kyoto, Jepang
  • Bebas Pajak & Kasir Self-Service di GU Jepang
  • Luar Biasanya Pelayanan Orang Jepang


Saat jalan-jalan di Jepang pada April 2019, saya sempat menginap di empat hotel yang berbeda, dua hotel di Osaka, satu hotel di Tokyo, dan satu hotel di Kyoto. Dari empat hotel tersebut favorit saya adalah yang di Kyoto yang merupakan aparthotel. Berikut tujuh alasannya.   

1. Kamar luas
Saya memesan kamar economy double room. Jangan terkecoh dengan kata "economy" karena kenyataannya dengan ukuran 22 meter kamar tidurnya terasa luas dibandingkan dengan kamar-kamar hotel yang saya inapi sebelumnya di Osaka dan Tokyo. Selain kamar tidur, tersedia ruangan lain, yaitu dapur, kamar mandi, dan toilet (yap, kamar mandi dan toiletnya terpisah).   

2. Lokasi strategis
Lokasi tempat ini juara banget, deh. Tinggal jalan kaki, nggak sampai 5 menit dari stasiun Kyoto. Karena dekat dengan stasiun, bikin mudah kemana-mana, termasuk ke Fushimi Inari Taisha (yang nggak sampai 10 menit dari stasiun Kyoto) atau ke atraksi Sagano Scenic Railway (yang hanya sekitar 15 menit dari stasiun Kyoto). Selain itu, memudahkan juga untuk saya yang mau lanjut ke Osaka karena naik shinakansen juga dari stasiun yang sama. 

3. Perlengkapan komplet
Karena ini merupakan aparthotel maka perlengkapan yang disediakan sangat komplet. Mulai dari televisi, sofa, lemari, kompor, mesin cuci, kulkas, microwave, ketel, dan alat makan. Intinya, kalau menginap di sini dalam jangka waktu lama akan nyaman sekali karena berasa seperti di rumah yang perlengkapannya komplet.  



4. Dapat pinjaman ponsel
Di dalam kamar terdapat ponsel merek Handy yang bisa dipakai secara gratis, baik untuk mengakses internet maupun telepon lokal dan internasional. Keren nggak, tuh? Tapi karena ponsel saya sudah terisi paket internet dan telepon, jadi saya tidak menggunakan ponsel Handy ini. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya saya menemukan penginapan yang menyediakan jasa peminjaman ponsel Handy, sebelumnya pernah mendapatkan fasilitas yang sama saat menginap di Summer View Hotel, Singapura. Namun bedanya, saat di Singapura, resepsionis yang memberikan ke saya dan meminta saya menandatangani pernyataan peminjaman ponsel, kemudian saya harus mengembalikan lagi ke resepsionis. Sedangkan di CMM Crystate Kyoto, ponsel tersebut sudah tersedia di dalam kamar. Wah, segitu percayanya ya, mereka dengan tamu. 

5. Sirkulasi udara yang baik 
Aparthotel ini memiliki balkon dan jendela yang besar, jadi bisa mendapatkan penerangan alami sekaligus sirkulasi udara yang baik. 

6. Free wi-fi
Saya sempat mencoba free wi-fi yang tersedia di dalam kamar dan koneksinya cukup baik. 

7. Pelayanan yang luar biasa
Sebenarnya jarak hotel dan Kyoto station dekat sekali. Namun kondisi kaki Biru yang sedang sakit membuatnya tidak memungkinkan berjalan. Maka kami meminta bantuan resepsionis untuk mencarikan taksi.  

Sang petugas wanita ini dengan gesitnya keluar ke jalanan dan mencarikan taksi. Kemudian setelah mendapat taksi, dia pun berusaha membantu membawa koper besar kami walaupun Biru melarangnya. 

Selanjutnya dengan sigapnya dia menjelaskan kepada sang sopir taksi dalam bahasa ibunya. Meskipun saya tidak mengerti namun saya menduga dia meminta sang sopir untuk menurunkan kami di sisi stasiun yang paling dekat dengan shinkansen agar Biru tak perlu berjalan terlalu jauh. Saya menduga demikian karena ketika menjelaskan dia menunjuk kaki Biru dan kami diturunkan tepat di depan pintu masuk arah platform shinkansen ke Osaka. 

Setelah memberikan intruksi kepada sang sopir taksi, dia menghadap ke arah kami, mengucapkan terima kasih sambil membungkukkan badannya. Lalu dengan lincahnya dia berlari kecil menyebrang jalan, kembali ke arah hotelnya. Pelayanan yang sangat luar biasa!

Kalau ditanya apa kekurangan tempat ini? Jujur saya tidak bisa menjawabnya. Kalau suatu waktu saya ke Kyoto lagi, saya pasti akan memilih aparthotel ini lagi. 

Ada yang pernah menginap di sini juga? Share di kolom komentar, ya...

Booking.com
----------@yanilauwoie----------

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h




Blog Sebelumnya:
  • Tip Ditolak Sopir Taksi di Jepang
  • Harga Makanan di Tokyo, Osaka, dan Kyoto, Jepang
  • Bebas Pajak & Kasir Self-Service di GU Jepang
  • Luar Biasanya Pelayanan Orang Jepang
  • McDonald's di Kopenhagen: Cokelat Panas Gratis dan Pesanan Keluar dari Langit-langit
Foto ilustrasi: Pixabay

Saat jalan-jalan ke Jepang pada April 2019, saya dan Biru sempat naik taksi beberapa kali. Layaknya saat naik taksi di Indonesia, kami memberikan tip. Namun ternyata tidak semua sopir mau menerima tip. Bila yang lainnya menerima tip dengan diikuti kalimat terima kasih, satu sopir menolak dengan mengembalikan uang kami. 

Saat itu, kami naik taksi dari daerah Gion, Kyoto menuju aparthotel CMM Crystate Kyoto. Sang sopir tidak bisa berbahasa Inggris, jadi kami berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Biru menunjukkan lokasi hotel kami melalui google maps namun dari bahasa tubuhnya sang sopir tidak begitu tahu daerah tersebut. Kami berusaha menjelaskan bahwa lokasinya dekat dengan Kyoto Station. 

Selanjutnya sopir tersebut menunjuk google maps di ponsel Biru dan menunjuk ke arah jalanan di depannya, sambil bilang "right", "left", dan "straight". Kami mengambil kesimpulan bahwa dia meminta tolong kami untuk diarahkan menuju lokasi. Jadi sepanjang perjalanan kami mengarahkannya dengan bilang kanan, kiri, dan lurus, yang tampaknya hanya itu bahasa Inggris yang benar-benar dipahaminya. 

Kami sampai lokasi tanpa ada masalah sedikitpun. Di argometer, tertera harga yang harus dibayar, yaitu ¥1.050. Lalu saya memberikan uang sejumlah ¥1.300 namun sopir tersebut mengembalikan sebagian uang saya. Saya kembalikan uangnya ke dia sambil bilang "it's okay". Karena memang saya sengaja melebihkan sebagai tip. Namun lagi-lagi sopir tersebut mengembalikan uang saya dengan gesture sopan. 

Karena tidak mau membuat keonaran, saya pun menerima kembali uang logam dari sopir tersebut. Begitu keluar taksi, saya lihat jumlah uang yang dikembalikannya sebanyak ¥150. itu berarti dia hanya mengambil ¥1.150. 

Saya tidak mengerti juga apakah ada alasan tertentu dia hanya mengambil tip ¥100 dan bukan ¥250. Atau mungkin dia sebenarnya tidak mau menerima tip sama sekali namun tanpa sengaja menerima yang ¥100 karena adegan sodor-sodoran uang yang kami lakukan. 

Peristiwa ini membuat saya teringat akan sebuah artikel yang pernah saya baca (entah di mana) bahwa orang Jepang tidak suka menerima tip. Tapi kalau memang demikian, kenapa beberapa sopir taksi sebelum dan sesudahnya tidak masalah menerima tip dan bahkan mengucapkan terima kasih? 

Ada yang bisa memberikan pencerahan? Mungkin pernah mengalami tipnya ditolak juga di Jepang? Share di kolom komentar, ya.


Booking.com
----------@yanilauwoie----------

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h



Blog Sebelumnya:
  • Harga Makanan di Tokyo, Osaka, dan Kyoto, Jepang
  • Bebas Pajak & Kasir Self-Service di GU Jepang
  • Luar Biasanya Pelayanan Orang Jepang
  • McDonald's di Kopenhagen: Cokelat Panas Gratis dan Pesanan Keluar dari Langit-langit
  • Cerita Toilet di Jepang
Stewed Beef Tendon Over Rice di Kushi Katsu Tanaka Shinsaibashi

Jujur saja, saya bukan termasuk orang yang suka mengeksplorasi makanan saat sedang jalan-jalan di tempat baru. Saya lebih suka cari aman, yaitu makan-makanan yang sudah saya ketahui kira-kira rasanya akan seperti apa. Karena itu, harga makanan di Tokyo, Osaka, dan Kyoto, Jepang yang saya catat saat jalan-jalan ke sana pada April 2019, nggak jauh-jauh dari makanan di restoran cepat saji, seperti berikut ini: 

Harga Makanan di Tokyo
  • Beef Bowl, ukuran no.2 (dari 5 ukuran yang tersedia) di Yoshinoya DECKS Tokyo Beach: ¥380
  • Beef Bowl ukuran paling kecil di Yoshinoya dekat Shinjuku Station: ¥360 
  • Sate ayam di Lawson: ¥117
  • Chip Star Potato Chips Mild Salt di Lawson: ¥117
  • Paket cheeseburger, kentang goreng, dan soft drink di Burger King: ¥490
  • Paket Happy Meal McDonald's isi cheese burger, kentang goreng medium dan milk kotak: ¥500
  • Sate kulit ayam di rumah kecil di Shimokitazawa 2 tusuk: ¥240 
  • Hot Matcha Latte di Detour a Blenet: ¥432 
  • Kue bolu Forecipe di Detour a Blenet: ¥270 
  • Pizza Margherita di Segafredo Zanetti Espresso, Shimokitazawa: ¥430
  • Air mineral 500ml di Lawson: ¥108
  • Paket ayam goreng original 2 buah dan 1 wedges potato di KFC depan Ebisu Station: ¥680
Harga Makanan di Osaka
  • Twister di KFC Tsukamoto Station: ¥340
  • Paket burger ayam, kentang goreng, dan soft drink di KFC Tsukamoto Station: ¥590
  • Cheeseburger di McDonald's Tsukamoto Station: ¥130
  • French fries di McDonald's Tsukamoto Station: ¥270
  • Hot cake di McDonald's Tsukamoto Station: ¥200
  • Air mineral 500ml di Piatto Forte: ¥108
  • Ice Matcha Au Lait di Cafe Sky 40: 350
  • Chicken & Cheese Sandwich di Streamer Coffee Shinsaibashi: ¥400
  • Apple Juice di Streamer Coffee Shinsaibashi: ¥400
  • Tapioca Matcha Milk di Sinanju Shinsaibashi: ¥630
  • Fish Cake di Kushi Katsu Tanaka Shinsaibashi:¥150 + 8% tax
  • Orange Juice di Kushi Katsu Tanaka Shinsaibashi: ¥250 + 8% tax
  • Stewed Beef Tendon Over Rice di Kushi Katsu Tanaka Shinsaibashi: ¥640 + 8% tax


Harga Makanan di Kyoto


Vegan Ramen di Ippudo Nishikikouji
  • Grains Salad with Chicken & Avocado di illy, Kyoto Station: ¥780
  • Gorengan kotak panjang rasa Squid di kafe kecil dekat Gikanjuji Temple: ¥300
  • Ayam dada di KFC Aeon Mall Kyoto: ¥270
  • Apple pie di KFC Aeon Mall Kyoto: ¥150
  • Happy Meal isi chicken nuggets, kentang goreng, susu di McDonald's: ¥500
  • Japanese mochi di pedagang kaki lima depan sebuah rumah di Arashiyama: ¥350
  • Octopus dumplings 2 tusuk di Randen Station: ¥500
  • Deep Matcha & Vanilla Ice Cream di toko ice cream sebrang Randen Station: ¥300
  • Vegan Ramen di Ippudo Nishikikouji: ¥890
  • Flavour Soft-Boiled Egg di Ippudo Nishikikouji: ¥100
  • Apple Pie di McDonald's Kyoto Station: ¥100
  • Has Brown di McDonald's Kyoto Station: ¥130

Booking.com
----------@yanilauwoie----------

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h


Blog Sebelumnya:
  • Bebas Pajak & Kasir Self-Service di GU Jepang
  • Luar Biasanya Pelayanan Orang Jepang
  • McDonald's di Kopenhagen: Cokelat Panas Gratis dan Pesanan Keluar dari Langit-langit
  • Cerita Toilet di Jepang
  • Masuk Kamar Ganti di Jepang? Jangan Lupa Buka Alas Kaki


Saat di Australia, saya terbiasa menggunakan kasir self-service saat berbelanja di supermarket. Logikanya sih, ini membuat saya terbiasa dan tidak bingung lagi dong, ketika menghadapi mesin sejenis di Jepang. Eits, konsepnya memang sama, yaitu menyelesaikan pembayaran sendiri (tanpa dibantu kasir) melalui mesin tapi bukan berarti cara mengoperasikannya sama. 

Kala itu, saya sedang berada di toko GU (fast fashion retailer Jepang) yang berada di Shinsaibashi Shopping Arcade, Osaka. Setelah puas melihat-lihat, saya memutuskan untuk membeli sehelai atasan berwarna krem. 

Ketika sedang mencari kasir, mata saya menangkap kasir self-service yang dikenal juga dengan nama self-checkout atau self-service checkout. Tanpa berpikir dua kali, saya langsung menuju mesin tersebut. "Sesusah apa, sih? Saya kan, sudah terbiasa dengan mesin sejenis ini," begitu yang ada di pikiran saya. 

Saya pun maju ke mesin yang kosong dan menatap layarnya. Kemudian saya mencari-cari di mana saya bisa memindai barcode baju yang akan dibeli. Karena seperti itu biasanya yang saya lakukan saat berhadapan dengan mesin seperti ini di Australia. Pindai barcode dan kemudian di layar akan muncul harga barang yang dipindai. Tapi saya cari-cari kok, tidak ada sih, untuk memindainya. 

Tidak mau kebingungan lebih lama, saya panggil salah satu petugas untuk membantu saya. Dia memasukkan baju yang akan saya beli ke ruang yang ada di bawah layar, setelah itu menutup pintunya. Kemudian, di layar tertera jenis barang, jumlah harga yang harus saya bayar dan pilihan pembayaran (tunai atau menggunakan kartu). 

Wah, saya dibuat terkagum-kagum dengan mesin ini. Kenapa? Karena petugas memasukkan baju secara sembarang - saya bahkan tidak yakin barcode-nya tidak tertutup baju - tapi ajaibnya mesin bisa membaca secara akurat baju apa yang saya beli. Ckck..

Tidak lama setelah saya membayar, Biru pun mau melakukan pembayaran. Dengan semangatnya, saya ingin menunjukkan pada dia bagaimana melakukan pembayaran di kasir self-service ini sekaligus saya ingin 'mengetes' keakuratan mesin ini lebih jauh mengingat Biru membeli beberapa potong pakaian. 

Tapi baru juga sampai di depan mesin, petugas yang berbeda menyapa dan bertanya apakah kami ingin melakukan pembayaran yang bebas pajak? Wah, tentu saja mau. Lumayan bisa menghemat 8% dari total pembayaran. 

Kami pun menuju kasir yang berada di lantai bawah. Biru hanya perlu menunjukkan paspornya untuk mendapatkan fasilitas bebas pajak yang diperuntukkan khusus turis ini. Lalu oleh sang kasir, bon pembelian ini ditempel dengan selotip di paspor biru untuk selanjutnya diberi cap yang menempel pada sebagian bon dan sebagian paspor. 

Melihat Biru yang bisa bebas pajak, saya jadi berpikir, kok saya tidak dapat tawaran seperti ini dari petugas yang membantu pembayaran saya? Wajah saya kurang turis kali ya?


Booking.com
----------@yanilauwoie----------


Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h



Blog Sebelumnya:
  • Luar Biasanya Pelayanan Orang Jepang
  • McDonald's di Kopenhagen: Cokelat Panas Gratis dan Pesanan Keluar dari Langit-langit
  • Cerita Toilet di Jepang
  • Masuk Kamar Ganti di Jepang? Jangan Lupa Buka Alas Kaki
  • Betapa Tepat Waktunya Orang Jepang


Newer Posts Older Posts Home

My Travel Book

My Travel Book
Baca yuk, kisah perjalanan saya di 20 negara!

My Travel Videos

Connect with Me

Total Pageviews

Categories

Amerika Serikat Australia Belanda Belgia Ceko Denmark Hong Kong Indonesia Inggris Irlandia Italia Jepang Jerman Korea Selatan Macau Malaysia Prancis Singapura Skotlandia Spanyol Thailand Vietnam

Blog Archive

  • ►  2025 (4)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2024 (12)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2023 (7)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2022 (6)
    • ►  October (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2021 (19)
    • ►  December (2)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (2)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2020 (4)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  January (2)
  • ▼  2019 (51)
    • ►  December (4)
    • ►  November (3)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (3)
    • ▼  June (5)
      • Arashiyama Bamboo Forest, Kyoto: Lah, Gini Doang?
      • 7 Alasan untuk Menginap di CMM Crystate Kyoto (Apa...
      • Tip Ditolak Sopir Taksi di Jepang
      • Harga Makanan di Tokyo, Osaka, dan Kyoto, Jepang
      • Bebas Pajak & Kasir Self-Service di GU Jepang
    • ►  May (4)
    • ►  April (5)
    • ►  March (10)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ►  2018 (30)
    • ►  December (8)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (5)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2017 (60)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (5)
    • ►  September (8)
    • ►  August (5)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  May (8)
    • ►  April (9)
    • ►  March (2)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ►  2016 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (4)
    • ►  August (4)
    • ►  July (1)
    • ►  June (3)
    • ►  May (6)
    • ►  April (5)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
    • ►  January (6)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (7)
    • ►  November (4)
    • ►  October (3)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (4)
    • ►  June (4)
    • ►  May (6)
    • ►  April (3)
    • ►  March (6)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2014 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (5)
    • ►  June (3)
    • ►  May (5)
    • ►  April (4)
    • ►  March (5)
    • ►  February (5)
    • ►  January (6)
  • ►  2013 (13)
    • ►  December (5)
    • ►  November (2)
    • ►  October (6)

Search a Best Deal Hotel

Booking.com

Translate

Booking.com

FOLLOW ME @ INSTAGRAM

Most Read

  • 10 Info Tentang Kartu Myki, Alat Bayar Transportasi di Melbourne, Australia
  • 6 Rekomendasi Oleh-oleh dari Edinburgh, Skotlandia dan Kisaran Harganya
  • 8 Tip Naik Tram di Melbourne, Australia
  • My 2018 Highlights

About Me

Hi, I'm Yani. I have 15 years experience working in the media industry. Despite my ability to write various topics, my biggest passion is to write travel stories. By writing travel stories, I combine my two favourite things; travelling and writing. All the content in this blog are mine otherwise is stated. Feel free to contact me if you have questions or collaboration proposal :)

Contact Me

Name

Email *

Message *

Copyright © 2016 My Travel Stories. Created by OddThemes & VineThemes