My Travel Stories

Lots of memories I can't keep, that's why I write.

Powered by Blogger.
  • Home
  • Indonesia
  • Asia
  • Australia
  • Eropa
  • Amerika
  • Travel Tips
  • Itinerary
  • Portfolio

Situasi Salat Ied di Sports Complex, Monash University, Melbourne

Ini adalah ketiga kalinya saya merayakan Idul Fitri di Australia tapi baru lebaran tahun inilah saya bisa melaksanakan salat Ied berjamaah dengan muslim-muslim lain di sini. Rasanya? Saya bisa memaknai lebaran dari kacamata yang berbeda. 

Berbeda dari tahun lalu, situasi Melbourne dan wilayah Victoria lainnya terkait COVID-19 sudah jauh lebih baik. Karena itulah, berbagai aktivitas yang melibatkan banyak orang kembali diperbolehkan, termasuk di antaranya untuk melakukan salat Ied secara berjemaah. Meskipun jumlah jemaahnya dibatasi (tergantung dari luasnya tempat salat) dan semuanya tetap harus dilakukan sesuai peraturan protokol kesehatan. 

Saya sebenarnya ingin salat di KJRI Melbourne tapi sayangnya mereka sudah memenuhi kuota maksimal untuk 80 orang sehingga saat saya mau mendaftar sudah tidak bisa. Akhirnya saya googling lokasi salat terdekat dari rumah dan keluarlah Monash University - Clayton campus yang hanya 15 menit dari rumah.


Langsung aja saya buka situsnya dan di sana melihat pengumuman untuk pelaksanaan salat Ied. Alhamdulillah-nya, mereka masih buka pendaftaran padahal saat itu sudah H-1. Saya pun mengisi google form yang kolomnya hanya terdiri dari 3 pertanyaan, yaitu nama lengkap, nomor telepon dan email. 

Setelah mengirim data diri, saya mendapat notifikasi pendaftaran tersebut melalui email, termasuk di dalamnya peta untuk menuju lokasi dan peraturan yang harus diikuti, yaitu:

  • Memakai masker dan membawa sajadah sendiri
  • Sudah berwudhu saat datang ke lokasi
  • Check-in/scan QR code sebelum memasuki arena (sejak pandemi COVID-19, ini adalah peraturan yang berlaku di Australia saat kita berkunjung ke tempat-tempat publik seperti restoran, kafe, rumah sakit, tempat wisata, dll. Tujuannya adalah bila terjadi outbreak yang terkait tempat tersebut, kita bisa dilacak dan dihubungi untuk diminta tes COVID-19)
  • Mengikuti arahan para relawan agar pelaksanaan berjalan lancar

Sejujurnya saya sedikit khawatir untuk melakukan salat Ied ini. Meskipun saat ini situasi terkait COVID di Melbourne bisa dibilang sangat terkendali, dalam artian tidak ada penularan yang berasal dari komunitas lokal tapi saya tetap sedikit khawatir. 

Namun logikanya, pemerintah tidak akan memberikan izin pelaksanaan salat Ied bila dianggap dapat membahayakan. Selain itu saya juga sangat percaya sama Allah SWT. Saya berdoa, kalau memang tidak aman untuk saya pergi maka mohon jangan biarkan saya pergi. Tapi kalau memang tidak apa-apa saya pergi ke sana, mohon agar diberi perlindungan. Alhasil dengan bekal kepercayaan tersebut, saya berangkat ke lokasi dengan diantar Shannon dan Noah. 

Saya sampai sekitar pukul 07.40 di lokasi salat Ied yang digelar di gedung olahraga kampus Clayton, Monash. Di depan gedung saya melihat para relawan yang mengarahkan jemaah untuk melakukan scan QR code dan memakai masker. Mereka bahkan membagikan masker gratis untuk jemaah yang tidak membawa masker. Mereka juga mengarahkan jemaah pria dan wanita arah pintu masuk yang sesuai. Sama seperti di Indonesia, jemaah pria berada di bagian depan dan wanita di belakang.

Saya yang sudah memakai masker saat memasuki area ini melangkah ke pintu belakang dan melakukan scan QR code yang ada di depan pintu. Scan QR code tersebar di banyak titik, jadi saya tenang tidak harus berdekatan dengan orang lain hanya untuk melakukan check-in. 

Memasuki gedung, saya melihat belum terlalu banyak orang yang hadir. Saya pun memilih lokasi yang tidak jauh dari pintu dan menggelar sajadah saya di sana. Terdengar suara takbir berkumandang,

"Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, La Ilaha Illallahu Wallahu Akbar"

Dari pertama kali saya mendengarnya ketika memasuki area gedung olahraga ini, perasaan saya sudah bergetar. Hati saya merasa hangat! 

Lantunan takbir tersebut seolah membawa saya pergi dari Australia dan mendaratkan saya ke tanah kelahiran saya di momen istimewa saat takbir ini terus berkumandang selama sekitar 24 jam. 

Saat saya melakukan salat Ied bersama mama yang berada di sebelah saya. Saat kami saling bermaafan begitu salat selesai. Saat semua keluarga berkumpul dan bercengkrama. Saat makan hidangan lebaran terenak yang disiapkan mama; ketupat, sayur, opor, rendang dan kue keju parut yang hanya ada saat lebaran atau ulang tahun. Semua masa indah dan menyenangkan tersebut seperti berlomba hadir di pikiran saya.   

Makin lama saya mendengarkan takbir, memori itu makin kuat dan mengaduk-aduk perasaan. Tanpa sadar, saya tak bisa menahan tangis. Air mata saya bercucuran. Bukan hanya memperkuat ikatan religius antara saya dengan Sang Pencipta, lantunan takbir tersebut juga memperkuat rasa akan kenangan, keluarga dan budaya yang begitu saya rindukan!

Ini adalah sebuah rasa baru yang tak pernah saya rasakan sebelumnya. Benar adanya bahwa kita akan lebih menghargai sesuatu saat kita tidak bersamanya.

Setelah sekitar 15 menit mendengarkan takbir, akhirnya salat Ied pun dimulai. Dan tepat saat salat akan mulai tiba-tiba ada seorang wanita yang menggelar sajadahnya tepat di sebelah saya, tanpa ada jarak! Saya langsung panik!

Dia seharusnya memberikan jarak seperti wanita yang ada di sebelah kanan saya. Dan seharusnya sisi kiri saya tidak digunakan untuk salat karena itu ada di luar batas salat. Paling tidak, itu yang saya lihat dari shaf-shaf di depan saya. Itu juga alasan saya memilih lokasi ini karena paling tidak di sisi kiri saya akan lowong dan saya tak perlu berdekatan dengan orang lain. 

Saya menduga karena dia datang sangat mepet saat salat akan dimulai, jadi dia mengambil tempat yang terdekat dan lowong, tanpa berusaha mencari ke lokasi lain. Dan saya pun tidak bisa melakukan banyak hal karena salat akan segara mulai dan area ini sudah terlihat penuh meskipun tidak sesak. 

Saya akhirnya putuskan untuk fokus pada salat. Untungnya, baik saya dan dia sama-sama memakai masker, jadi semoga saja kami tidak saling mentransfer virus (seandainya kami bervirus). 

Salat Ied tidak berlangsung lama. Tidak sampai 10 menit. Setelah itu, dilanjutkan dengan ceramah. Namun saya putuskan untuk tidak mengikuti ceramah hingga selesai. Alasannya? Saya tak mau berdesakan saat mengambil sepatu untuk kemudian dilanjutkan berdesakan menuju pintu keluar. Saya bisa parno!

Karena itu saya putuskan untuk meninggalkan gedung tersebut lebih dulu, saat saya masih bisa bergerak tanpa harus bertabrakan dengan orang lain. 

Kurang lebih sekitar 30 menit saja pengalaman saya salat Ied di Melbourne namun rasa dan makna yang saya rasakan sungguhlah luar biasa. Kini saya tahu rasanya menjadi minoritas di sebuah negara. 

Tanpa perlu mengalami diskriminasi saja, rasanya sungguh berat jauh dari keluarga dan budaya kita di hari yang sangat istimewa. Bayangkan dengan orang-orang yang teraniaya hanya karena berbeda agama? 

Jadi marilah kita saling menghargai satu sama lain terlepas di manapun kita dan apapun agama kita. Kalau kita belum bisa berbuat baik untuk orang lain, paling tidak jangan menyakitinya!

Selamat Idul Fitri 2021. Mohon maaf lahir batin!

Semoga ini lebaran terakhir kita terpisah dari keluarga karena pandemi. Berharap lebaran tahun depan situasi sudah membaik dan kita bisa merayakan dengan sukacita dengan seluruh keluarga. Amin! 

----------@yanilauwoie----------

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h


Blog Sebelumnya:
  • Tinggal di Australia saat Pandemi Corona, Begini Rasanya

  • 6 Tip Road Trip dengan Bayi

  • Noah Merusak Instalasi Seni Yayoi Kusama. Lapor atau Kabur?

  • My 2020 Highlight: Terbang Membawa Bayi 4 Minggu di Tengah Pandemi COVID-19

  • Berlinangan Air Mata di Los Angeles, Amerika Serikat


 




Setahun lebih kita mengalami pandemi COVID-19 dan sudah lebih dari setahun pula saya menjalaninya di luar Indonesia, tepatnya di Australia. 

Ketika mendarat di Australia pada Maret 2020 saya menduga kami hanya akan menghabiskan waktu selama sekitar 2 bulan saja di sini, sambil menghabiskan waktu cuti melahirkan saya. Tapi siapa sangka pandemi membuat dunia jungkir balik, membuat perencanaan saya dan Shannon ikut berantakan. 

Namun sejujurnya, berada di Australia selama pandemi bukanlah sesuatu yang buruk karena Australia bisa mengelola pandemi dengan cukup baik dan merupakan salah satu negara teraman untuk ditinggali dalam situasi krisis ini.

Tentu saja ada momen-momen dimana Victoria (negara bagian tempat saya tinggal) mengalami situasi yang cukup buruk. Tepatnya ketika ada ratusan orang terpapar COVID-19 setiap harinya sehingga lockdown keras benar-benar diberlakukan. 

Perbatasan Victoria dengan negara bagian lain ditutup. Kita pun tidak boleh keluar rumah sama sekali kecuali untuk hal yang benar-benar penting, seperti bekerja (kalau memang tidak bisa dilakukan dari rumah), ke rumah sakit, olahraga dan belanja kebutuhan pokok dengan jarak maksimal 5 kilometer dari rumah.

Protokol kesehatan juga diberlakukan. Kita wajib memakai masker di semua tempat umum, tidak boleh berkumpul di tempat umum lebih dari 2 orang dan itu pun harus tetap jaga jarak, tidak boleh saling bertamu, kafe hanya boleh untuk takeaway dan berbagai macam peraturan lainnya yang harus diikuti demi memutus rantai penyebaran virus. 

Berbagai peraturan tersebut diikuti dengan pengawasan yang ketat dan tegas dari petugas keamanan. Polisi ada di mana-mana. Mereka melakukan cek secara random di berbagai tempat dan tak segan-segan memberikan hukuman bagi para pelanggarnya. Dendanya nggak main-main lho, bisa sampai ribuan dollar.

Saya masih ingat pada bulan Juli tahun lalu saat media di sini ramai memberitakan tentang sekelompok orang pelanggar aturan yang secara total harus membayar sekitar AUD26.000. Kisah berawal ketika ada dua orang paramedis sedang makan di KFC dan melihat ada dua orang lain yang memesan makanan sebanyak 20 porsi. kedua paramedis tersebut curiga bahwa kedua orang tersebut sedang mengadakan pesta dan segera melaporkan kecurigaan mereka ke polisi dengan menyebutkan plat nomor mobil mereka. 

Polisi yang dapat melacak alamat rumah melalui plat mobil bertindak sangat cepat dengan mendatangi rumah sang pembeli KFC. Ternyata kecurigaan kedua paramedis tersebut terbukti. Polisi menangkap basah sang pembeli KFC sedang mengadakan perayaan pesta ulang tahun. Alhasil 16 orang yang terlibat harus bayar denda masing-masing sebesar AUD1.652. Itu berarti untuk 16 orang, total denda yang dibayarkan hampir 300 juta rupiah!

Ya memang secepat itu para petugas bergerak dan setegas itu peraturan dilaksanakan!

Kecepatan para petugas dalam melakukan pelacakan juga terlihat setiap kali ada outbreak. Pergerakan orang yang dinyatakan positif COVID-19 akan ditelusuri selama 14 hari ke belakang. Kemana mereka pergi, bertemu siapa, dan melakukan apa. Dari sana, setiap orang yang terkait dengan orang tersebut langsung diminta tes. Orang-orang yang mengunjungi tempat yang dikunjungi orang yang positif COVID-19 pada waktu bersamaan pun diminta tes, baik ada atau tidak ada gejala. 

Biasanya pengumuman ini masyarakat ketahui dari media massa, baik media massa online, radio maupun teve. Disebutkan tempat-tempat yang terjadi outbreak dan yang terkait dengan tempat tersebut diwajibkan melakukan tes gratis. Selain mengharapkan orang-orang yang kemungkinan terkait dengan outbreak untuk lapor diri, pemerintah juga akan menghubungi langsung orang-orang yang diduga terkait. 

Darimana pemerintah dapat data orang-orang yang diduga terkait outbreak? Dari mana-mana. Salah satunya adalah data yang didapatkan saat kita check-in di tempat-tempat umum. Misalnya, ketika kita berkunjung ke kafe atau restoran, kita akan diminta mengisi data kehadiran, baik secara manual atau melalui aplikasi online. 

Contohnya saat saya mau makan makanan padang di rumah makan Salero Kito Melbourne, mereka meminta saya untuk check-in sebelum saya bisa memesan. Begitu juga saat saya berkunjung ke kafe atau restoran lainnya. Tujuannya bila ada outbreak yang terkait tempat tersebut, pemerintah bisa dengan segera menghubungi saya untuk melakukan tes.  

Kemampuan pelacakan yang terorganisir dan cepat ini sangat ampuh untuk menekan laju penyebaran virus.   

Dan begitu laju penyebaran virus bisa teratasi, lockdown pun pelan-pelan diangkat. Dan lockdown akan diberlakukan kembali saat terjadi outbreak baru, untuk kemudian diangkat lagi begitu kasus menurun. Ritme tersebut terus diulang selama setahun terakhir ini dan keketatan peraturan atau kebijakan lockdown tergantung dari seberapa besar outbreak yang terjadi. 

Setahu saya, buka tutup lockdown ini bukan hanya terjadi di Victoria saja, negara bagian-negara bagian lain pun memberlakukan hal yang sama. 

Peraturan yang jelas dari pemerintah, aparat hukum yang tegas dan masyarakat yang disiplin membuat kita bisa bersama-sama mengendalikan penyebaran virus ini. Sampai ketika akhirnya saya menulis ini, situasi di Victoria bisa dibilang aman terkendali tanpa ada penyebaran virus dari komunitas/masyarakat lokal. Meskipun saya tahu, kondisi ini bisa berubah dan lockdown bisa kembali diterapkan.

Namun untuk saat ini, saya bisa bilang saya merasa luar biasa beruntung karena masih bisa hidup normal di tengah situasi dunia yang tidak jelas ini. Tentu saya masih sangat berhati-hati dalam beraktivitas namun paling tidak tingkat kecemasan saya makin ke sini makin menurun. Saya tenang ketika bertemu teman dan kerabat. Saya tenang ketika berbelanja di supermarket. Saya tenang ketika membeli makanan di restauran, baik untuk takeaway atau santap di tempat.

Dan di atas segalanya, saya merasa sangat beruntung karena bisa membesarkan Noah di situasi yang tidak mengkhawatirkan. Noah bisa bebas main ke pantai, masuk ke hutan atau bermain perosotan dan ayunan di taman tanpa saya perlu merasa takut dia akan terpapar virus. Dan untuk itu, tidak henti-hentinya saya mengucap syukur!   

Saya hanya berharap orang-orang tersayang saya dan kamu yang membaca ini di manapun berada bisa terus sehat dan menemukan perasaan tenang dan damai yang sama di tengah situasi yang tidak menentu ini. 

Dan untuk kampung halaman saya, Indonesia, rindu saya sungguh tidak terkata. Tidak sabar menunggu semuanya membaik dan kita bisa kembali bersama :)

----------@yanilauwoie----------

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h


Blog Sebelumnya:
  • 6 Tip Road Trip dengan Bayi

  • Noah Merusak Instalasi Seni Yayoi Kusama. Lapor atau Kabur?

  • My 2020 Highlight: Terbang Membawa Bayi 4 Minggu di Tengah Pandemi COVID-19

  • Berlinangan Air Mata di Los Angeles, Amerika Serikat

  • Ross Dress for Less, Tempat Belanja Barang-Barang Branded Murah di San Francisco, Amerika Serikat

Newer Posts Older Posts Home

My Travel Book

My Travel Book
Baca yuk, kisah perjalanan saya di 20 negara!

My Travel Videos

Connect with Me

Total Pageviews

Categories

Amerika Serikat Australia Belanda Belgia Ceko Denmark Hong Kong Indonesia Inggris Irlandia Italia Jepang Jerman Korea Selatan Macau Malaysia Prancis Singapura Skotlandia Spanyol Thailand Vietnam

Blog Archive

  • ►  2025 (4)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2024 (12)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2023 (7)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2022 (6)
    • ►  October (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ▼  2021 (19)
    • ►  December (2)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (2)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ▼  May (2)
      • Salat Ied di Melbourne: 30 Menit yang Magis
      • Tinggal di Australia Saat Pandemi Corona, Begini R...
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2020 (4)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2019 (51)
    • ►  December (4)
    • ►  November (3)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (3)
    • ►  June (5)
    • ►  May (4)
    • ►  April (5)
    • ►  March (10)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ►  2018 (30)
    • ►  December (8)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (5)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2017 (60)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (5)
    • ►  September (8)
    • ►  August (5)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  May (8)
    • ►  April (9)
    • ►  March (2)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ►  2016 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (4)
    • ►  August (4)
    • ►  July (1)
    • ►  June (3)
    • ►  May (6)
    • ►  April (5)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
    • ►  January (6)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (7)
    • ►  November (4)
    • ►  October (3)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (4)
    • ►  June (4)
    • ►  May (6)
    • ►  April (3)
    • ►  March (6)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2014 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (5)
    • ►  June (3)
    • ►  May (5)
    • ►  April (4)
    • ►  March (5)
    • ►  February (5)
    • ►  January (6)
  • ►  2013 (13)
    • ►  December (5)
    • ►  November (2)
    • ►  October (6)

Search a Best Deal Hotel

Booking.com

Translate

Booking.com

FOLLOW ME @ INSTAGRAM

Most Read

  • 10 Info Tentang Kartu Myki, Alat Bayar Transportasi di Melbourne, Australia
  • 6 Rekomendasi Oleh-oleh dari Edinburgh, Skotlandia dan Kisaran Harganya
  • 8 Tip Naik Tram di Melbourne, Australia
  • My 2018 Highlights

About Me

Hi, I'm Yani. I have 15 years experience working in the media industry. Despite my ability to write various topics, my biggest passion is to write travel stories. By writing travel stories, I combine my two favourite things; travelling and writing. All the content in this blog are mine otherwise is stated. Feel free to contact me if you have questions or collaboration proposal :)

Contact Me

Name

Email *

Message *

Copyright © 2016 My Travel Stories. Created by OddThemes & VineThemes