Salat Ied di Melbourne: 30 Menit yang Magis

Situasi Salat Ied di Sports Complex, Monash University, Melbourne

Ini adalah ketiga kalinya saya merayakan Idul Fitri di Australia tapi baru lebaran tahun inilah saya bisa melaksanakan salat Ied berjamaah dengan muslim-muslim lain di sini. Rasanya? Saya bisa memaknai lebaran dari kacamata yang berbeda. 

Berbeda dari tahun lalu, situasi Melbourne dan wilayah Victoria lainnya terkait COVID-19 sudah jauh lebih baik. Karena itulah, berbagai aktivitas yang melibatkan banyak orang kembali diperbolehkan, termasuk di antaranya untuk melakukan salat Ied secara berjemaah. Meskipun jumlah jemaahnya dibatasi (tergantung dari luasnya tempat salat) dan semuanya tetap harus dilakukan sesuai peraturan protokol kesehatan. 

Saya sebenarnya ingin salat di KJRI Melbourne tapi sayangnya mereka sudah memenuhi kuota maksimal untuk 80 orang sehingga saat saya mau mendaftar sudah tidak bisa. Akhirnya saya googling lokasi salat terdekat dari rumah dan keluarlah Monash University - Clayton campus yang hanya 15 menit dari rumah.


Langsung aja saya buka situsnya dan di sana melihat pengumuman untuk pelaksanaan salat Ied. Alhamdulillah-nya, mereka masih buka pendaftaran padahal saat itu sudah H-1. Saya pun mengisi google form yang kolomnya hanya terdiri dari 3 pertanyaan, yaitu nama lengkap, nomor telepon dan email. 

Setelah mengirim data diri, saya mendapat notifikasi pendaftaran tersebut melalui email, termasuk di dalamnya peta untuk menuju lokasi dan peraturan yang harus diikuti, yaitu:

  • Memakai masker dan membawa sajadah sendiri
  • Sudah berwudhu saat datang ke lokasi
  • Check-in/scan QR code sebelum memasuki arena (sejak pandemi COVID-19, ini adalah peraturan yang berlaku di Australia saat kita berkunjung ke tempat-tempat publik seperti restoran, kafe, rumah sakit, tempat wisata, dll. Tujuannya adalah bila terjadi outbreak yang terkait tempat tersebut, kita bisa dilacak dan dihubungi untuk diminta tes COVID-19)
  • Mengikuti arahan para relawan agar pelaksanaan berjalan lancar

Sejujurnya saya sedikit khawatir untuk melakukan salat Ied ini. Meskipun saat ini situasi terkait COVID di Melbourne bisa dibilang sangat terkendali, dalam artian tidak ada penularan yang berasal dari komunitas lokal tapi saya tetap sedikit khawatir. 

Namun logikanya, pemerintah tidak akan memberikan izin pelaksanaan salat Ied bila dianggap dapat membahayakan. Selain itu saya juga sangat percaya sama Allah SWT. Saya berdoa, kalau memang tidak aman untuk saya pergi maka mohon jangan biarkan saya pergi. Tapi kalau memang tidak apa-apa saya pergi ke sana, mohon agar diberi perlindungan. Alhasil dengan bekal kepercayaan tersebut, saya berangkat ke lokasi dengan diantar Shannon dan Noah. 

Saya sampai sekitar pukul 07.40 di lokasi salat Ied yang digelar di gedung olahraga kampus Clayton, Monash. Di depan gedung saya melihat para relawan yang mengarahkan jemaah untuk melakukan scan QR code dan memakai masker. Mereka bahkan membagikan masker gratis untuk jemaah yang tidak membawa masker. Mereka juga mengarahkan jemaah pria dan wanita arah pintu masuk yang sesuai. Sama seperti di Indonesia, jemaah pria berada di bagian depan dan wanita di belakang.

Saya yang sudah memakai masker saat memasuki area ini melangkah ke pintu belakang dan melakukan scan QR code yang ada di depan pintu. Scan QR code tersebar di banyak titik, jadi saya tenang tidak harus berdekatan dengan orang lain hanya untuk melakukan check-in. 

Memasuki gedung, saya melihat belum terlalu banyak orang yang hadir. Saya pun memilih lokasi yang tidak jauh dari pintu dan menggelar sajadah saya di sana. Terdengar suara takbir berkumandang,

"Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, La Ilaha Illallahu Wallahu Akbar"

Dari pertama kali saya mendengarnya ketika memasuki area gedung olahraga ini, perasaan saya sudah bergetar. Hati saya merasa hangat! 

Lantunan takbir tersebut seolah membawa saya pergi dari Australia dan mendaratkan saya ke tanah kelahiran saya di momen istimewa saat takbir ini terus berkumandang selama sekitar 24 jam. 

Saat saya melakukan salat Ied bersama mama yang berada di sebelah saya. Saat kami saling bermaafan begitu salat selesai. Saat semua keluarga berkumpul dan bercengkrama. Saat makan hidangan lebaran terenak yang disiapkan mama; ketupat, sayur, opor, rendang dan kue keju parut yang hanya ada saat lebaran atau ulang tahun. Semua masa indah dan menyenangkan tersebut seperti berlomba hadir di pikiran saya.   

Makin lama saya mendengarkan takbir, memori itu makin kuat dan mengaduk-aduk perasaan. Tanpa sadar, saya tak bisa menahan tangis. Air mata saya bercucuran. Bukan hanya memperkuat ikatan religius antara saya dengan Sang Pencipta, lantunan takbir tersebut juga memperkuat rasa akan kenangan, keluarga dan budaya yang begitu saya rindukan!

Ini adalah sebuah rasa baru yang tak pernah saya rasakan sebelumnya. Benar adanya bahwa kita akan lebih menghargai sesuatu saat kita tidak bersamanya.

Setelah sekitar 15 menit mendengarkan takbir, akhirnya salat Ied pun dimulai. Dan tepat saat salat akan mulai tiba-tiba ada seorang wanita yang menggelar sajadahnya tepat di sebelah saya, tanpa ada jarak! Saya langsung panik!

Dia seharusnya memberikan jarak seperti wanita yang ada di sebelah kanan saya. Dan seharusnya sisi kiri saya tidak digunakan untuk salat karena itu ada di luar batas salat. Paling tidak, itu yang saya lihat dari shaf-shaf di depan saya. Itu juga alasan saya memilih lokasi ini karena paling tidak di sisi kiri saya akan lowong dan saya tak perlu berdekatan dengan orang lain. 

Saya menduga karena dia datang sangat mepet saat salat akan dimulai, jadi dia mengambil tempat yang terdekat dan lowong, tanpa berusaha mencari ke lokasi lain. Dan saya pun tidak bisa melakukan banyak hal karena salat akan segara mulai dan area ini sudah terlihat penuh meskipun tidak sesak. 

Saya akhirnya putuskan untuk fokus pada salat. Untungnya, baik saya dan dia sama-sama memakai masker, jadi semoga saja kami tidak saling mentransfer virus (seandainya kami bervirus). 

Salat Ied tidak berlangsung lama. Tidak sampai 10 menit. Setelah itu, dilanjutkan dengan ceramah. Namun saya putuskan untuk tidak mengikuti ceramah hingga selesai. Alasannya? Saya tak mau berdesakan saat mengambil sepatu untuk kemudian dilanjutkan berdesakan menuju pintu keluar. Saya bisa parno!

Karena itu saya putuskan untuk meninggalkan gedung tersebut lebih dulu, saat saya masih bisa bergerak tanpa harus bertabrakan dengan orang lain. 

Kurang lebih sekitar 30 menit saja pengalaman saya salat Ied di Melbourne namun rasa dan makna yang saya rasakan sungguhlah luar biasa. Kini saya tahu rasanya menjadi minoritas di sebuah negara. 

Tanpa perlu mengalami diskriminasi saja, rasanya sungguh berat jauh dari keluarga dan budaya kita di hari yang sangat istimewa. Bayangkan dengan orang-orang yang teraniaya hanya karena berbeda agama? 

Jadi marilah kita saling menghargai satu sama lain terlepas di manapun kita dan apapun agama kita. Kalau kita belum bisa berbuat baik untuk orang lain, paling tidak jangan menyakitinya!

Selamat Idul Fitri 2021. Mohon maaf lahir batin!

Semoga ini lebaran terakhir kita terpisah dari keluarga karena pandemi. Berharap lebaran tahun depan situasi sudah membaik dan kita bisa merayakan dengan sukacita dengan seluruh keluarga. Amin! 


 

Share:

0 komentar