My Travel Stories

Lots of memories I can't keep, that's why I write.

Powered by Blogger.
  • Home
  • Indonesia
  • Asia
  • Australia
  • Eropa
  • Amerika
  • Travel Tips
  • Itinerary
  • Portfolio
Oke saya harus akui saya cukup menikmati makanan yang saya makan di restoran ini tapi tatapan para pelayan di sini akan membuat saya berpikir dua kali bila mau ke sini lagi (selain tiket pesawat yang mahal tentunya ;p).

Saya tidak ingat apa tepatnya nama restoran ini. Namun Chinese Restaurant ini terletak di sekitar Wenceslas Square, Praha. Kalau kita menghadap ke Wenceslas Monument dan National Museum, restoran ini ada di deretan kiri. Saya, Feny dan Mira ke sini menjelang sore hari dengan membawa koper seberat sekitar 20 kg. Yap, soalnya dari bandara kami tidak langsung ke hostel melainkan mencari makan dulu.

Ini yang namanya National Museum

Perjuangan pertama dimulai ketika untuk mencapai restoran ini kami harus menaiki tangga. Setelah mengintip tidak terlalu banyak tangga yang harus dinaiki, kami pun memaksa menggotong koper-koper untuk naik ke restoran. Saat sampai restoran, suasananya sangat sepi karena memang mungkin bukan jam makan siang atau pun malam. Kami memilih duduk dekat jendela.

Bosan dengan makanan cita rasa Eropa, saya senang sekali bisa makan di sini. Saya pun memesan nasi goreng ayam dan brokoli. Entah karena sudah lama (yeah rite padahal baru 2 minggu ;p) nggak makan makanan bercita rasa Asia, saya cukup menikmati makanan yang saya pesan di restoran ini. Bumbunya lumayan terasa.

Ini nasi goreng ayam yang saya makan

Selesai makan, saat kami ingin pulang, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Akhirnya kami memutuskan untuk stay di tempat itu lebih lama. Toh, restoran ini sepi juga jadi saya pikir keberadaan kami tidak akan terlalu mengganggu. Apalagi tempat ini memiliki kapasitas kursi yang lumayan banyak.

Namun, saya menjadi resah ketika pelayan di sana mulai memandangi kami dengan tatapan tidak bersahabat. Keresahan itu berubah menjadi gangguan ketika tatapan itu diberikan berkali-kali dan oleh lebih dari satu orang pelayan. Niat yang tadinya cuek saja karena toh kami juga di sana membeli (bukan makan gratis), jadi memupus.

"Kita keluar aja yuk," ajak Feny. Tapi bingung juga mau keluar kemana dengan kondisi hujan. "Gue lebih baik kehujanan daripada dilihatin kayak gini," tutur Feny. Ya Feny nggak salah sih, habis tatapan mereka benar-benar membuat tidak nyaman. Tatapan yang seolah-olah "mengusir" kami dari situ karena makanan kami sudah habis dan kami sudah bayar pula, yang berarti selesai lah bisnis dengan mereka.

Akhirnya kami bertiga keluar dari restoran tersebut. Untungnya di depan pintu keluar tersebut, ada lorong. Alhasil kami diam lah di lorong tersebut dengan koper-koper kami. Tapi masalah pun belum selesai karena udara dingin membuat kondisi tubuh saya tidak nyaman. Saya pun menunggu sambil menggerak-gerakan badan yang tentunya terlihat seperti berjoget. Tidak sadar, ada seorang ibu bule yang lewat situ dan ikutan joget. Hahahaha... 

Untung saja kami menunggu hanya sekitar setengah jam, kalau tidak bisa beku deh, badan ini. Namun miris rasanya mengingat Ibu bule yang merasa kasihan dan terharu melihat kami yang kedinginan sementara orang-orang di restoran tersebut tidak sabar ingin melihat kami pergi di tengah hujan. Ya kali, sesama Asia, ada perasaan sisterhood. Hehehehe...

Find me at:
LINE: @psl7703h
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie


YouTube: yanilauwoie

Baca Juga:
  • EuroTrip: Sakau Nasi
  • EuroTrip: "Dimarahi" Pelayan di Roma 
Mungkin, sekali lagi mungkin, pria ini berniat baik. Tapi sikapnya yang agresif dan bahasanya yang tidak kami mengerti, bikin saya dan Feny lari ketakutan.

Saat saya dan Feny mengunjungi Colosseum di Roma, Italia, kami kepikiran untuk mengambil foto dari sebrang jalan agar kami bisa menangkap sebanyak mungkin Colosseum ke dalam kamera kami. Sibuk foto-foto, kami tidak terlalu memperhatikan keadaan sekitar sampai ada suara yang terdengar sangat dekat dengan kami. Kami otomatis menengok ke arah suara. Kami melihat seorang pria Italia sedang berdiri di dekat kami namun posisinya tidak berada di trotoar tempat kami berdiri, melainkan di tempat yang lebih tinggi. Sehingga untuk bisa melihat kami dia harus menunduk dan untuk melihat dia, kami harus mendongak.

Dia tersenyum begitu melihat kami berdua menengok ke arahnya. Kemudian dia berkata sesuatu dalam bahasa Ibunya, yang tentu saja tidak kami mengerti. Perkataannya itu dibalut oleh senyuman yang saya yakin digunakan untuk mempesona kami. Tapi bukannya terpesona, saya dan Feny merasa terganggu. Akhirnya kami putuskan untuk berjalan maju, pindah posisi, meninggalkan pria tersebut.

Kami pun kembali asyik foto-foto dengan background Colosseum. Namun lagi-lagi sesi foto ini terganggu karena si pria berkaos oranye itu datang lagi. Dia berbicara lebih banyak dari sebelumnya. Yang sumpah, tidak ada satu perkataannya pun yang saya mengerti. Saya dan Feny pun kembali berjalan menghindari dia. Namun ketika kami berjalan ke depan, dia mengikuti sambil berteriak-teriak. Saya dan Feny panik, dari yang tadinya berjalan, kami setengah berlari. Saya menengok ke belakang, saya melihat dia pun setengah berlari, sambil terus berteriak-teriak.

Saya tambah panik, ketika melihat beberapa meter di depan akan sangat mudah bagi dia untuk menangkap kami. Pasalnya batasan yang berupa tembok tinggi yang membatasi antara trotoar tempat kami berada dengan tempat dia berada makin lama makin pendek dan saya yakin kalau kami terus berlari ke depan, kami akan amprokan dengan pria aneh ini.

"Nyebrang Fen," saya mengomando Feny. Saya tahu Feny juga takut seperti saya. Wajahnya menunjukkan itu. Kami bergandengan tangan sambil menunggu lampu berubah menjadi merah, sehingga kami bisa menyebrang. Saya deg-degan luar biasa karena melihat pria itu makin mendekat. Namun, untung saja lampu berganti dan saya serta Feny langsung melesat. Sambil menyebrang saya melihat ke arah pria tersebut. Dia masih berteriak-teriak. Ucapan yang tertangkap di telinga saya adalah, " Mi Bella... Mi Bella..."

Setelah sampai di sebrang, saya melihat dia akhirnya sampai di batasan tembok yang akhirnya menyatu dengan trotoar tersebut. Saya menanti apa yang akan dia lakukan, kalau sampai dia ikut nyebrang juga, saya sudah siapkan diri untuk menjadi pelari tercepat di dunia. Namun untungnya, begitu dia melihat kami sudah sampai di sebrang, dia hanya memandangi kami dan kemudian dia berjalan ke arah yang berbeda.

Saya dan Feny langsung menarik napas lega. Alhamdulillah... 

Sampai saya menulis ini saya tetap tidak mengerti apa sebenarnya yang ingin diutarakan pria tersebut. Apakah dia berniat baik atau tidak, saya tidak akan pernah tahu.

Lepas dari pria aneh itu, saya bisa foto-foto seru lagi meskipun sebentar-sebentar menengok ke sebrang jalan. Khawatir dia muncul lagi.


Find me at:
LINE: @psl7703h
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie

YouTube: yanilauwoie

Baca Juga:
  • EuroTrip: "Dimarahi" Pelayan di Roma
  • EuroTrip: Pangeran-pangeran Koper

Bawa backpack atau koper, ya? Saya sempat mempertanyakan itu kepada diri sendiri sebelum berangkat ke Eropa. Saya pun memutuskan membawa koper karena saya tidak mau menanggung beban sekitar 20 kg di pundak saya.

Namun membawa koper juga punya kesulitannya sendiri. Berpindah ke beberapa negara, berganti dari satu kereta ke kereta lain, bus ke bus lain dan menggeret-geret koper di jalanan berbatu sambil mencari alamat penginapan tentu bukan hal yang praktis. Tapi itu semua tidak seberapa bila dibandingkan bertemu dengan tangga. Mending kalau anak tangganya bisa dihitung dengan jari. Nah, kalau anak tangganya sampai puluhan? Tenaga pun harus ekstra dobel untuk membuat koper berpindah dari atas ke bawah atau bawah ke atas.

Tapi untungnya banyak sekali pria baik yang meringankan beban Saya, Feny dan Mira dalam urusan koper ini. Di semua kota yang didatangi, selalu ada saja ada pria baik yang tidak tega melihat kami menggotong koper-koper tersebut sendirian. Di stasiun Ostkreuz, Berlin, Jerman kami ditolong bapak tua yang tenaganya masih kuat ketika mau menaiki puluhan anak tangga. Lalu ada pria muda tampan yang membantu kami ketika harus menaiki anak tangga saat mau pindah kereta di Paris, Prancis. Di Barcelona, Spanyol sempat dibantu dengan 2 orang pria ketika kami mau menuruni anak tangga di stasiun Mollet – St. Fost. Di Praha, Ceko kami juga sempat ditolong pria muda ketika mau menuruni anak tangga menuju stasiun kereta.

Feny cuma bisa nyengir ketika melihat puluhan anak tangga di stasiun Ostkreuz
Ketika saya sendirian di Dublin, Irlandia, saya juga mendapat banyak bantuan. Semua bantuan tersebut saya dapatkan ketika harus naik turun tangga di dua hostel yang berbeda saat check in dan check out. Di hostel yang pertama, Sky Backpackers – The Liffey saat sedang menaiki anak tangga menuju kamar saya di lantai 2, seorang pria seksi asal Argentina, Thomas menawarkan bantuannya untuk membawakan koper saya. Kemudian ketika saya check out dari hostel tersebut, saya dibantu oleh Michael, teman baru saya yang berasal dari Irlandia.

Lalu ketika saya check in di hostel yang kedua, Abbey Court Hostel seorang pria asal Iran dan sempat tinggal lama di Malaysia, Ahmad membantu saya menggotong koper melewati anak tangga. Saat check out saya juga ditolong oleh teman sekamar saya, pria asal Jerman.

Namun, pertolongan yang paling membekas di ingatan saya adalah ketika kami berada di Roma, Italia. Saat itu kondisinya sudah malam dan hujan. Kami baru datang dari Bandara dengan tujuan mencari hostel kami, Hostella Female Only. Lelah tentunya. Kucel pastinya. Dan sedikit basah sudah pasti. Saya sendiri sudah heboh membalut diri saya selain dengan jaket, juga dengan jas hujan disposable. Iya jas hujan yang terbuat dari plastik tipis itu, lho. Nggak ada gaya-gayanya sama sekali, deh.

Nah, setelah sempat bingung mencari alamat, akhirnya ketemu juga hostel tempat kami menginap tersebut. Saya, Feny dan Mira masuk melewati pintu besar setelah memberitahu kedatangan kami lewat intercom. Dengan kondisi capek, langsung lemas lah saya melihat anak tangga besar-besar yang harus kami naiki untuk sampai ke hostel. Ya Tuhan, harus ya tangga lagi?

Lagi mempersiapkan tenaga untuk menggotong koper. Tiba-tiba ada suara, “Hujan ya di luar?” Saya menengok ke arah suara yang berkata dengan nada simpati itu. Seorang pria memakai T-Shirt dan celana pendek dengan wajah tampan khas Italia sedang menuruni tangga. Dia pun menunjukkan wajah simpatinya ketika melihat kami semua setengah basah. Lalu dia menawarkan bantuan untuk membawakan koper. Saat itu saya memandanginya seperti seorang pangeran tampan yang membantu kami, para upik abu. Hahahaha.

Find me at:
LINE: @psl7703h
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie


YouTube: yanilauwoie

Baca Juga:

  • EuroTrip: Sakau Nasi
  • EuroTrip: Mendadak Spanish
Dari jauh-jauh hari yang ditakutkan oleh Mira tentang perjalanan kami ke Eropa adalah nasi. Bukan takut nyasar, bukan takut kedinginan dan bukan takut ketemu orang jahat. Bukan itu semua. Namun ketakutan terbesar Mira adalah tidak bisa makan nasi setiap hari!
 
Maklum! Mira ini adalah “anak nasi”. Dalam sehari 3 kali dia makan nasi. Bawaannya cranky ketika dia belum makan nasi. “Gue sanggup nggak yah, kalau nggak setiap hari makan nasi?” tanyanya dengan muka khawatir di suatu malam pada saat kami membahas rencana keberangkatan kami ke Eropa.

Beberapa waktu dari ucapan tersebut, Mira mendapatkan solusi. “Teman gue akan meminjamkan travel cooker ke gue. Jadi nanti kita bisa masak nasi,” ucapnya berbinar, seolah dia berhasil menemukan solusi dari permasalahan super berat. Selanjutnya Mira menugaskan kami untuk masing-masing membawa beras 1 kg. Saya protes! “Ribet banget. Gue bawa beras seadanya yang gue punya aja, deh,” jawab saya yang memang suka menyimpan beras di kosan. Feny juga menolak dengan alasan dia sudah punya kentang dan mie instan. Mira pun tidak bisa memaksa kami.

Akhirnya tiba hari keberangkan kami ke Eropa. Mira tentu menjadi orang yang paling banyak membawa beras di antara kami. Bukan hanya itu saja, Mira pun sudah siap dengan rendang kering sebagai teman makan nasi. Meskipun bukan “anak nasi” seperti Mira, saya setuju dengan ide Mira ini. Karena saya yakin, beberapa hari makan makanan Eropa akan bikin saya kangen dengan makanan cita rasa Indonesia. Saya pikir pas nih, mulai makan nasi rendang setelah 3 – 4 hari makan makanan Eropa. 

Tapiiii… boro-boro 3 – 4 hari. Hari kedua, di pagi pertama di Eropa, saat saya masih ngulet di atas bunk bed di hostel kami di Berlin, saya sudah mendengar suara bunyi-bunyian sendok mengaduk panci. Rupanya Mira dibantu Feny sudah asyik masak nasi. Busyet! Saya bahkan belum kangen dengan nasi. Hahahaha…

Nasi yang menurut saya seharusnya dimakan saat kami sakau saja, menjadi makanan wajib Mira nyaris setiap hari. Bahkan Mira suka menggabungkan nasi dengan mie dan kentang instan. Ckckckck… Sangat berkarbohidrat. “Gue butuh makanan kayak gini untuk stamina, jadi kuat jalan seharian,” Mira membela diri. Alhasil perbekalan nasi kami hanya bertahan sampai kota kedua, yaitu Paris.

Giliran sampai di kota ketiga, Barcelona, Mira kembali sakau nasi. Suatu malam, setelah makan McDonalds, Mira langsung masuk ke sebuah restoran Taiwan yang kami lewati begitu melihat ada gambar nasi di menu yang dipajang di depan resto. Mira memesan nasi goreng. Mira pun pulang ke hotel dengan bungkusan makanan yang membuatnya senang.

Di hari terakhir di Barcelona, kami sempat mampir ke restoran yang dekat area hotel kami, Can Fabregas Café Mollet. Lagi-lagi, di sini Mira memesan nasi. Saya pun demikian, karena akhirnya saya sakau nasi juga. Hahahaha.. Sebenarnya di resto tersebut tidak ada menu nasi tapi mereka mau memasakkan nasi ketika kami memintanya. Lagi-lagi, kebaikan hati orang Barcelona :)

Setelah itu, kami bertiga baru kembali bertemu nasi setelah sampai di kota kelima, Praha. Dari Bandara, sebelum masuk hostel, kami mampir ke Chinese Restaurant. Di sini lah saya baru berasa makan. Nasi goreng ayam (yang warnanya putih, tidak pakai kecap dan saus) dan sayur brokoli-nya lumayan berasa di lidah. Ya, bumbunya tidak seberani seperti makanan di Indonesia namun cukup mendekati. Saya saja girang bisa makan makanan ini. Apalagi Mira, “si anak nasi”. Hehehe… 

Harga nasi goreng ayam ini 69 CZK. Lumayan lah rasanya...

Terakhir saya makan nasi di Eropa adalah ketika sedang one day tour ke Wicklow Mountain National Park di Irlandia. Saya makan di salah satu kafe yang ada di sana. Sebenarnya saya cukup kaget ketika mengetahui mereka punya nasi. Tanpa pikir panjang saya langsung pesan nasi dan vegetables soup. Saya membayangkan makan sayur sup dengan nasi di udara Irlandia yang saat itu cukup dingin tentu menyenangkan. Lezatnya sampai kebayang di lidah. 

Tapi bayangan itu buyar begitu saya melihat sup yang mereka sajikan. Beda dengan sayur sup Indonesia yang ada dalam bayangan saya. Sup ini seperti bubur, kental dengan warna kuning kecoklatan. Terlihat seperti labu yang diblender. Rasanya? Tentu tidak lezat. Lalu saya beralih ke nasinya. Saya sendok nasi tersebut dan… pyar. Nasinya tidak menyatu. Seperti nasi pera yang berhamburan. Saat itu lah, saya kangen makan nasi Indonesia. Saya pun langsung mengerti bagaimana rasanya menjadi Mira, “si anak nasi.” ;p

Saat saya dan Feny semangat mencoba kebab di Berlin, Mira setia dengan menu nasi.


Find me at:
LINE: @psl7703h
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie


YouTube: yanilauwoie

Baca Juga:
  • EuroTrip: Mendadak Spanish
  • EuroTrip: Melepas Koyo di Menara Eiffel 
Foto Ilustrasi: Pixabay

Tidak ada satu pun di antara saya, Feny dan Mira yang bisa berbicara bahasa spanyol. Tapi bila kepepet, apapun bisa berubah. Contohnya Feny yang mendadak “mengerti” bahasa Spanyol.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam dari bandara Barcelona, Spanyol dengan menggunakan kereta, kami akhirnya sampai di stasiun Mollet – St. Fost. Saya awalnya senang karena ingin cepat-cepat sampai di hotel untuk beristirahat. Tapi, begitu saya tahu bahwa untuk keluar stasiun kami harus menuruni tangga, perasaan senang perlahan-lahan menguap. Pasalnya, saya membawa koper dengan berat nyaris 20 kg. Tentu ini bukan bawaan yang menyenangkan bila harus melewati tangga.

Mending kalau hanya ada 1 tangga saja. Ini setelah menuruni beberapa anak tangga, kami masuk ke dalam lorong di mana ada 2 pilihan mau ke arah kanan atau kiri, baik arah kanan atau kiri, ada anak tangga yang harus kami naiki untuk mencapai jalan raya. Waduh, kalau kami salah pilih arah, gawat, nih. Bisa-bisa pinggang rontok. Hahahaha…

Untungnya, saat kami sedang menggotong-gotong koper untuk melewati tangga pertama, ada 2 orang pria spanyol yang menawarkan bantuan. Alhamdulillah, senangnya bukan main. Sekalian aja kami tanya arah menuju hotel kami, apakah kami harus mengambil arah ke kiri atau ke kanan. Pria pertama tampaknya tidak tahu hotel yang kami maksud. Dia akhirnya menyerahkan kertas alamat hotel yang kami tunjukkan ke teman satunya. Dari reaksinya saya tahu bahwa mereka berdua tidak tahu hotel yang kami maksud. Termasuk tidak tahu apakah kami harus keluar ke arah kanan atau kiri.

Kejadian berikutnya adalah mereka mejelaskan sesuatu yang tentunya tidak saya mengerti. “Prekente… prekente… prekente,” hanya itu yang saya tangkap dari penjelasan mereka. Saya juga melihat mereka menunjuk-nunjuk ke arah luar, kemudian menunjuk-nunjuk koper kami dan menunjuk-nunjuk pinggang mereka. Saya cuma bisa bengong dibuatnya. Sebisa mungkin memahami, tapi yah kok, benar-benar clueless maksud mereka apa.

Satu-satunya orang di antara kami bertiga yang terlihat paham dengan maksud mereka adalah Feny. Wajah serius Feny memperlihatkan bahwa dia paham betul dengan pembicaraan kedua orang tersebut. Berbeda 180 derajat dengan wajah bengong saya. Beberapa kali juga saya melihat Feny mengangguk-angguk sambil bilang oke kepada kedua pria tersebut. Bahkan ketika mereka bertanya untuk yang terakhir kalinya (saya tahu ini pertanyaan dari nada bicaranya), Feny dengan mantap bilang oke. Kemudian kedua orang tersebut melanjutkan perjalanannya ke arah dalam stasiun kereta. Meninggalkan kami di lorong antara pilihan ke kiri atau kanan.

“Emang lo ngerti mereka ngomong apa Fen? Muka lo sok tahu banget seolah-olah paham perkataan mereka?” tanya saya. “Mereka bilang, cari orang di luar, minta bantuannya untuk mengangkat koper-koper kita. Kalau nggak, nanti pinggang kita bisa sakit,” jawab Feny, luar biasa yakin. Saya ngakak mendengar jawaban Feny. Tapi Feny menyakinkan bahwa itu lah yang dimaksud kedua pria tersebut.

Sampai saya menulis blog ini, saya tidak tahu arti sebenarnya dari perkataan yang diucapkan kedua pria tersebut. Namun, saya acungi jempol untuk kepedean Feny yang meng-klaim bahwa dia mendadak mengerti bahasa Spanyol. Hahahaha…

----------@yanilauwoie----------
Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie
LINE: @psl7703h

Baca Juga:

  • EuroTrip: Melepas Koyo di Menara Eiffel
  • EuroTrip: Pakai Bahasa Indonesia Aja!
Pertama kali datang ke Eropa, saya menginjakkan kaki di kota Berlin, Jerman. Selama 4 hari 3 malam di sana, udara Berlin kurang bersahabat bagi saya yang berasal dari negara tropis. Matahari bersinar malu-malu, bahkan hujan sering kali turun. Alhasil saya cukup kedinginan. 
Rupanya bukan saya saja yang kedinginan. Mira dan Feny pun sama kedinginannya menghadapi cuaca awal September di Berlin. Berbagai cara kami lakukan untuk membuat tubuh tetap hangat di tengah agenda mengunjungi berbagai tempat menarik di Berlin. Mulai dari memakai baju berlapis, jaket, kaos kaki, sarung tangan, syal sampai kupluk. Semua "alat perang dingin" ini menempel manis di tubuh kami. 

Bila saya paling bermasalah dengan telapak tangan yang bisa mati rasa bila terlalu kedinginan, Feny beda lagi. Kelemahan dia ada di kaki. Kakinya mudah lelah bila berjalan terlalu lama. Tanpa udara dingin pun, Feny sudah memiliki masalah ini. Kebayang nggak, gimana tersiksanya dia bila ditambah udara dingin yang menyusup ke telapak kaki? Nah, untuk mengatasi masalah tersebut, Feny punya trik tersendiri. "Telapak kaki gue, gue pakaikan koyo," katanya tersenyum. Feny tampak bangga dengan ide cemerlangnya. Selain bisa mengatasi rasa pegal, Feny bilang koyo ini ampuh untuk membuat telapak kakinya hangat. Alhasil tiap pagi, Feny sibuk menempelkan koyo di masing-masing telapak kakinya.

Untung saja, sebelum kami kedinginan lebih lama, kami sudah harus pindah kota lagi. Setelah dari Berlin kami terbang ke Paris, Prancis yang hangat. Ralat, bukan hangat, melainkan panas. Saking panasnya, saya sempat harus menepi di pinggiran sebuah gedung saat sedang mengunjungi Menara Eiffel.

"Gue duduk aja deh di situ, di sini panas," ucap saya, kemudian melipir ke tempat teduh. Mira pun mengikuti. Saat itu, saya yakin, Feny akan tetap sibuk memotret menara cantik itu. Bukan karena Feny hobi motret namun karena Menara Eiffel adalah salah satu alasan utama Feny ingin menjelajah Eropa. Tapi, ternyata dugaan saya salah. Karena Feny mengikuti saya dan Mira melipir ke tempat teduh.

"Lo nggak mau foto-foto?" tanya saya ke Feny. "Iya sebentar," jawab Feny sambil membuka boots-nya. Saya menyimak apa yang dia lakukan. Sejurus kemudian, dia melepas kaos kakinya. Lalu, terlihat lah si penghangat itu. "Kaki gue panas," ucap Feny, meringis. Selanjutnya, Feny menarik koyo-koyo yang menempel di telapak kakinya. Oala... Ternyata Feny tetap melakukan rutinitas paginya. Tapi kali ini, strateginya salah besar. Koyo membuat kaki-kaki Feny terasa terbakar di tengah Paris yang hari itu luar biasa panas. 

Saya hanya tersenyum melihat Feny. Dia berada di salah satu tempat yang paling diimpikannya di dunia namun dia malah sibuk berkutat dengan si koyo. Tapi mungkin hanya Feny yang bisa melakukan itu. Melepas koyo di Menara Eiffel ;p 

Foto ini diambil sebelum insiden lepas koyo-nya Feny

Find me at:
LINE: @psl7703h
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie

YouTube: yanilauwoie

Baca Juga:
  • EuroTrip: Amazing Race di Paris
  • EuroTrip: Koper Melayang di Paris
Newer Posts Older Posts Home

My Travel Book

My Travel Book
Baca yuk, kisah perjalanan saya di 20 negara!

My Travel Videos

Connect with Me

Total Pageviews

Categories

Amerika Serikat Australia Belanda Belgia Ceko Denmark Hong Kong Indonesia Inggris Irlandia Italia Jepang Jerman Korea Selatan Macau Malaysia Prancis Singapura Skotlandia Spanyol Thailand Vietnam

Blog Archive

  • ►  2025 (4)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2024 (12)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2023 (7)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2022 (6)
    • ►  October (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2021 (19)
    • ►  December (2)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (2)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2020 (4)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2019 (51)
    • ►  December (4)
    • ►  November (3)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (3)
    • ►  June (5)
    • ►  May (4)
    • ►  April (5)
    • ►  March (10)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ►  2018 (30)
    • ►  December (8)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (5)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2017 (60)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (5)
    • ►  September (8)
    • ►  August (5)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  May (8)
    • ►  April (9)
    • ►  March (2)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ►  2016 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (4)
    • ►  August (4)
    • ►  July (1)
    • ►  June (3)
    • ►  May (6)
    • ►  April (5)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
    • ►  January (6)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (7)
    • ►  November (4)
    • ►  October (3)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (4)
    • ►  June (4)
    • ►  May (6)
    • ►  April (3)
    • ►  March (6)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ▼  2014 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (5)
    • ►  June (3)
    • ►  May (5)
    • ►  April (4)
    • ►  March (5)
    • ►  February (5)
    • ▼  January (6)
      • EuroTrip: "Diusir" Pelayan di Praha
      • EuroTrip: Dikejar-kejar Pria Italia
      • EuroTrip: Pangeran-pangeran Koper
      • EuroTrip: Sakau Nasi
      • EuroTrip: Mendadak Spanish
      • EuroTrip: Melepas Koyo di Menara Eiffel
  • ►  2013 (13)
    • ►  December (5)
    • ►  November (2)
    • ►  October (6)

Search a Best Deal Hotel

Booking.com

Translate

Booking.com

FOLLOW ME @ INSTAGRAM

Most Read

  • 10 Info Tentang Kartu Myki, Alat Bayar Transportasi di Melbourne, Australia
  • 6 Rekomendasi Oleh-oleh dari Edinburgh, Skotlandia dan Kisaran Harganya
  • 8 Tip Naik Tram di Melbourne, Australia
  • My 2018 Highlights

About Me

Hi, I'm Yani. I have 15 years experience working in the media industry. Despite my ability to write various topics, my biggest passion is to write travel stories. By writing travel stories, I combine my two favourite things; travelling and writing. All the content in this blog are mine otherwise is stated. Feel free to contact me if you have questions or collaboration proposal :)

Contact Me

Name

Email *

Message *

Copyright © 2016 My Travel Stories. Created by OddThemes & VineThemes