Mie Titi Bikin Bingung

Yeaaay! Saya sekarang ada di kota Makassar. Karena tugas kantor, mulai hari ini sampai 6 hari ke depan saya akan berada di kota Angin Mamiri ini. Makan malam pertama saya di kota ini adalah di restoran Mie Titi. Ini mengingatkan saya akan pengalaman makan Mie Titi pada tahun 2011 lalu.

Pada 2011 lalu, saya mendapat tugas kantor untuk roadshow GADIS Sampul bersama seorang rekan kantor, Laura. Saat itu kami memutuskan untuk makan malam di Mie Titi yang dekat dengan hotel kami, yaitu Mie Titi di Jl. Datu museng 23. Saat itu, saya belum familiar dengan Mie Titi. Tapi kata Laura, kami harus mencobanya karena ini adalah salah satu makanan khas Makassar. Wah, saya aja yang punya 25% darah Makassar tidak tahu hal ini. Hihihi...

Begitu masuk Mie Titi, seorang pria langsung bertanya, "dua?" Saya dan Laura mengiyakan karena kami memang hanya berdua. Setelah itu, kami langsung mengambil tempat duduk yang tersedia. Saat masih bingung mau memesan apa, tiba-tiba ada pelayan pria yang datang dengan membawakan 2 gelas teh tawar. Awalnya saya sempat bingung kenapa kami diberi minuman padahal kami belum memesan. Tapi saya tidak mempermasalahkan itu karena memang ada rumah makan yang secara otomatis memberikan minuman teh tawar meskipun kita tidak memesannya.

Tapi beda urusannya ketika tiba-tiba pria yang tadi bertanya, "dua" kepada kami datang dan membawakan dua piring mie. Saya dan Laura langsung saling pandang kebingungan. "Kita belum pesan, kok," kata saya dan Laura dengan nada bingung kepada sang pelayan tersebut. "Tadi katanya dua," ucap sang pelayan sambil meletakkan piring tersebut di atas meja kami. Meski bingung, saya dan Laura akhirnya pasrah menerima mie kering berkuah tersebut. Seumur-umur baru kali ini masuk ke rumah makan dan langsung disodorkan makanan yang bahkan tidak saya pesan. 

Setelah sibuk menganalisa, saya dan Laura sepakat kepada kesimpulan bahwa ada beda pengertian "dua" antara pelayan tersebut dengan kami. Kami mengira dua yang dia maksud adalah menanyakan jumlah orang yang datang padahal maksud dia adalah jumlah yang dipesan. Tapi pertanyaan selanjutnya timbul di kepala saya, "kenapa dia ngasih kita mie ini? Kalau saya ingin mie jenis lain atau menu lain bagaimana?" Laura pun sama bingungnya dengan saya. 

Malam ini, saya makan lagi di Mie Titi. Tapi kali ini Mie Titi di Jl. Dr. W. Sudirohusodo No. 20. Menurut driver yang mengantarkan saya dan Widi (kali ini saya tidak pergi dengan Laura), Mie Titi di jalan ini adalah pusatnya sedangkan yang di Datumesung adalah cabangnya. Begitu sampai pintu masuk, saya mendapatkan pertanyaan, "berapa?" dari petugas kasir di depan pintu. Tidak mau terjebak dalam kasus yang sama, saya putuskan bertanya balik sebelum menjawab. 


Ini mie titi yang saya makan malam ini. Harganya 22 ribu rupiah.

Begini kurang lebih percakapan kami:
"Berapa?"
"Ini pesannya di sini atau nanti?" saya menunjuk ke arah dalam rumah makan.
"Bisa di sini. Berapa?"
"Kami berdua. Menunya ada apa aja?"
"Cuma ada mie titi dan nasi goreng."

Kalimat "cuma ada mie titi" langsung diserap otak saya layaknya tulisan yang di-bold dan kapital semua. Ya pantas aja, waktu saya makan mie titi di Datumesung, mereka bahkan tidak menanyakan saya mau makan apa, lah wong menu mie-nya aja cuma ada satu-satunya. Mungkin orang yang datang ke situ sudah hampir dipastikan makan mie titi. Karena seperti kata Widi, buat apa ke Mie Titi kalau pesannya nasi goreng.

Akhirnya setelah hampir 4 tahun, kebingungan yang saya alami terjawab sudah.

Find me at:
LINE: @psl7703h
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie


YouTube: yanilauwoie


Blog Sebelumnya:
Baca Juga:  

Share:

0 komentar