Pantai Venice
Belum lama ini saya membaca sebuah postingan di sebuah grup travelling. Isinya testimoni seorang traveller yang merasa kota Los Angeles tidak se-wow yang dia bayangkan sebelumnya dan membuat ia sama sekali tidak terkesan. Dia menyebut bahwa LA identik dengan tiga hal, yaitu gelandangan, bau pesing dan bau marijuana. Hal ini membuat saya teringat akan pengalaman saya menjejak ke kota selebritas Hollywood tersebut pada tahun lalu.
Saya tidak bilang saya setuju dengan pernyataan traveller tersebut meskipun saya akui bahwa saya melihat banyak gelandangan di kota ini dan mencium bau pesing di beberapa tempat, terutama di halte bus. Mungkin karena gelandangan banyak tidur di halte dan pipis di sana makanya bau pesing.
Terlepas dari itu, saya memiliki kesan tersendiri terhadap kota ini. Bukan karena saya akhirnya bertemu dengan "Adam Levine" di Hollywood Walk of Fame. Bukan juga karena saya bisa mengunjungi Griffith Observatory, lokasi syuting La La Land (yang sampai saya menulis ini, filmnya belum saya tonton). Bukan karena itu.
Perjalanan saya ke LA menjadi begitu berkesan karena ini perjalanan pertama dan terjauh saya saat saya hamil. Awalnya sempat ragu untuk melakukan perjalanan ini karena takut membahayakan bayi dalam kandungan yang saat itu berusia sekitar 4 bulan. Tapi setelah konsultasi dengan dokter, saya mantap untuk terbang ke negara yang menjadi negara ke-21 yang saya kunjungi.
Alhamdulillah tidak ada gangguan berarti selama dalam penerbangan dan selama saya di Amerika Serikat. Namun saat sendirian di kamar hotel, saya bawaannya kesepian dan mellow. Alhasil saya terus-menerus menghubungi Shannon dan teman-teman dekat saya, seperti Asri dan Stacey.
Saya merasa waktu berlalu sangat lama. Saya tak sabar ingin pulang. Awalnya saya merasa heran kenapa saya merasa seperti itu karena travelling sendirian bukan hal baru bagi saya. Saya pernah melakukannya di Australia dan Eropa namun baru pertama kalinya dalam sejarah travelling saya, saya merasa sekesepian itu.
Akhirnya saya sadar bahwa perasaan itu dipicu oleh hormon kehamilan saya. Saya meyakini ini terutama saat saya tiba-tiba berlinangan air mata saat berada di tengah jalan di LA.
Ceritanya saat itu saya sedang menunggu bus untuk membawa saya ke LACMA tapi setelah menunggu lebih dari 30 menit bus yang saya tunggu tidak kunjung datang padahal menurut jadwal yang tertera di halte seharusnya tuh bus sudah datang sejak bermenit-menit yang lalu. Saya pun memutuskan jalan kaki.
Saya berjalan dari satu blok ke blok yang lain sambil melihat situasi sekitar. Baik-baik saja. Tidak merasa capek atau apa, tapi kok, ya tiba-tiba saya berlinangan air mata dan menangis sesenggukan. Untung saya pakai topi dan berkacamata sehingga orang yang melihat tidak ngeh saya sudah banjir air mata.
Saat itu, sambil memegang perut saya mempertanyakan ke diri sendiri apakah saya egois memutuskan hamil di saat usia saya mendekati 40? Bagaimana bila saya saya atau Shannon meninggal sementara anak ini masih kecil? Bagaimana dia akan menghadapi dunia ini sendirian? Pikiran-pikiran tersebut membuat saya merasa bersalah kepada sang calon bayi.
Hal tersebut terulang ketika saya sedang menikmati sore hari di pantai Venice. Di antara pasir, di tengah semilir angin dan pemandangan ombak yang tenang, saya kembali menangis sesenggukan. Masih dengan pikiran-pikiran yang sama.
Akhirnya saya bisa menenangkan diri setelah saya berjanji kepada diri sendiri bahwa saya akan membuat anak ini mandiri dan kuat sejak dini sehingga dia siap untuk menghadapi dunia ini bila suatu waktu saya dan Shannon harus pergi meninggalkannya terlebih dulu.
Saat saya menulis ini, anak tersebut sudah punya nama, yaitu Noah dan akan berusia 9 bulan dalam hitungan hari. Melihat pertumbuhan dan perkembangannya sejauh ini, saya percaya dia akan menjadi anak yang mandiri dan kuat :)