My Travel Stories

Lots of memories I can't keep, that's why I write.

Powered by Blogger.
  • Home
  • Indonesia
  • Asia
  • Australia
  • Eropa
  • Amerika
  • Travel Tips
  • Itinerary
  • Portfolio



Harga makanan di New York berikut ini saya catat dari perjalanan saya ke sana pada September 2022. Semua harga di sini sudah termasuk pajak.

  • Phoenix claw (ceker ayam, $7,95), nasi putih ($2), dan air kemasan ($2,50): $13,55
  • Braised beef bowl (nasi campur daging sapi dan sayuran, $11,95) dan air kemasan ($3,50) di FieldTrip: $16,82
  • Roti sosis di sebuah food truck makanan halal: $2
  • Large bubble tea di 39th Bodega: $6,53
  • Dua paha ayam dan kentang goreng di Jollibee: $8,70
  • Bubble milk tea di Moge Tee: $5,99
  • Biggie Bag (paket burger, kentang goreng dan soft drink) di Wendy's: $5,44
  • Stir-fried shredded beef with chilli pepper ($16) dan nasi putih ($3) di Kung Fu Kitchen: $20,69
  • Bubble milk tea di sebuah kafe di Dumbo, Brooklyn: $6,23
  • Satu slice cheese pizza di NYC Pizza: $4,08
  • Phoenix claw (ceker ayam) di Awesum Dim Sum: $8,66
  • Combo over rice (nasi, ayam, domba dan sayur, $9) dan air kemasan ($2) di Adel's Famous, food truck makanan halal: $11 
  • Jerk chicken (paket nasi, ayam dan sayur) di Mezze Cafe, bandara JFK: $17,41

Sebagai tambahan informasi, harga makanan yang tertulis di restoran-restoran dan kafe-kafe biasanya sebelum pajak yang besarnya 8,875%.

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie

Blog Sebelumnya:
  • Deg-degan Ditawarin Ganja di New York!

  • 5 Syarat Mudah Masuk Australia di Masa Pandemi

  • Persyaratan Masuk Amerika Serikat Saat Pandemi COVID-19

  • Drama Menginap di 'Gubuk' Saat Pandemi

  • Kebijakan Australia Berubah: Siapkah Saya Hidup Berdampingan dengan COVID-19?


"Do you want to get high? Smoking weed," kata sebuah suara. Saya otomatis menengok ke arah suara dan melihat seorang pria tinggi dan bertubuh gelap memegang plastik bening yang di dalamnya berisi beberapa lintingan yang terlihat seperti rokok. Saya langsung tahu apa itu dan ketakutan luar biasa. Nyaris hampir berlari meninggalkan orang tersebut.

Gila banget! Tuh, orang nawarin ganja. Ya kali, gue mau ketangkap dan di penjara di negeri orang. Itu yang ada di kepala saya terhadap kejadian tersebut. Eh, tapi nggak jauh dari situ, ya kok ada beberapa orang lainnya menawarkan hal yang sama. Menawarkan dengan santainya, tanpa beban kepada orang yang sedang lalu lalang di area Time Square. 

Melihatnya, saya mulai merasa aneh. Ini memang area dimana kegiatan ilegal dibenarkan atau bagaimana, sih?

Di tengah kebingungan, saya terus menyusuri area Time Square sampai akhirnya sama melihat jeng jeng jeng... sebuah toko dengan nama Weed World. Saya langsung mengenali bahwa itu toko ganja. Kaki saya maju mundur, penasaran antara ingin masuk namun juga takut. Akhirnya saya urungkan untuk masuk karena nyali ciut melihat penjaga yang berdiri di depan pintu. Ngeri ditanya macam-macam atau dipaksa beli. 

Bila ada sebuah toko menjual ganja di area publik seperti Time Square, logikanya ganja nggak dilarang, dong! 

Yap benar, menurut data yang saya temukan, New York menjadi negara bagian Amerika Serikat yang ke-15 yang melegalkan pemakaian ganja bagi orang dewasa (21 tahun ke atas) untuk kebutuhan personal sejak Maret 2021. Sebelumnya, sejak tahun 2014 ganja hanya legal digunakan untuk kebutuhan medis.  

Apa artinya untuk kebutuhan personal? Artinya selama cukup umur, orang tersebut boleh merokok ganja, memakan makanan yang mengandung ganja, atau menggunakan produk yang mengandung ganja untuk kebutuhan pribadinya dengan batas-batas tertentu yang telah ditentukan oleh kota New York. 

Batasan-batasan tersebut diantaranya, hanya boleh memiliki maksimal 3 ons ganja dan maksimal 24 gram konsentrasi ganja. Tidak diperbolehkan untuk merorok ganja sambil berkendara motor, bahkan ketika motor tersebut di parkir. 

Suasana di dalam CBD Kratom

Keesokan harinya, saya melihat lagi toko ganja yang berbeda. Nama tokonya dalah CBD Kratom (Cannabis Dispensary). Karena hari itu saya bersama dua orang teman, yaitu Mbak Dea dan Ette, akhirnya saya berani untuk masuk ke toko ganja tersebut. 

Sesampainya di dalam toko yang sangat bersih dan rapi, saya dibuat terbengong-bengong dengan banyaknya variasi ganja yang dijual. Toko tersebut bukan hanya menjual ganja untuk merokok saja tapi juga berbagai produk berbahan ganja.

Misalnya, cokelat yang level ganjanya berbeda-beda, ada level ringan, menengah dan berat. Ada pula permen karet, pain cream, bath soaks, dan berbagai produk lainnya. Semuanya tertara rapi dalam lemari kaca yang terkunci. 

Beli satu cokelat dengan niat akan dimakan bertiga

Karena penasaran, kami bertiga pun membeli satu cokelat batangan seharga USD16,33 dengan level ringan yang memiliki kandungan ganja sebanyak 40mg meskipun sang penjual menyarankan untuk mencoba yang level berat dengan kandungan 160mg. Ya kali, langsung nyoba yang level berat. Ini aja belinya sambil deg-degan. 

Saat membayar saya bertanya sama pria Afrika-Amerika tersebut, apa efek yang akan kami rasakan. "Apakah saya akan mengantuk?" tanya saja. "Tidak. Kamu akan merasa tenang dan bahagia," jawabnya dengan pembawaan yang sangat tenang dan nyantai, membuat saya curiga dia sudah mengonsumsi ganja pagi-pagi. Hahaha..

Lalu bagaimana rasa cokelat ganja? Saya tidak tahu! Karena sampai saya meninggalkan New York pertengahan September lalu, saya tidak sempat mencoba si cokelat dan cokelat tersebut berada sama Mbak Dea dan Ette karena mereka pulang belakangan. 

Sehari sebelum mereka pulang, saya wanti-wanti sama Mbak Dea untuk memakan cokelat tersebut atau membuangnya sebelum terbang. Karena nggak lucu, kalau ditangkap di bandara Indonesia cuma karena alasan penasaran ingin mencoba cokelat ganja. 

Sampai saya mengetik ini, saya tidak tahu apakah Mbak Dea dan Ette akhirnya memakan atau membuang itu cokelat. Saya curiga mereka juga sama seperti saya, penasaran tapi juga ketakutan untuk mencoba cokelat tersebut. Hahaha..

Ada yang pernah meencoba cokelat ganja? Coba share bagaimana sih, rasannya? 


Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie

Blog Sebelumnya:
  • 5 Syarat Mudah Masuk Australia di Masa Pandemi

  • Persyaratan Masuk Amerika Serikat Saat Pandemi COVID-19

  • Drama Menginap di 'Gubuk' Saat Pandemi

  • Kebijakan Australia Berubah: Siapkah Saya Hidup Berdampingan dengan COVID-19?

  • My 2021 Highlight: Road Trip di Australia dengan Balita Saat Pandemi COVID-19



Sejak akhir tahun 2021, Australia sudah membuka kembali perbatasannya yang sempat tutup nyaris dua tahun karena pandemi COVID-19. Kini, turis atau wisatawan bisa kembali mengunjungi Australia. Tidak mau melewatkan kesempatan ini, saya pun mengundang kedua orangtua saya untuk bisa berkunjung ke sini. 

Lalu apa saja syarat masuk Australia saat pandemi? Berikut berdasarkan pengalaman kedua orangtua saya ketika masuk Australia minggu ketiga April 2022.

1. Paspor + visa. Orangtua saya menggunakan visitor visa sub class 600. Visa ini diperuntukan untuk kunjungan sementara, baik dengan tujuan wisata atau bertemu keluarga. Saat pembuatan visa, dijelaskan bahwa tujuan mereka ke sini adalah untuk berkunjung/bertemu dengan saya, suami saya dan cucu mereka. Kurang lebih sekitar satu bulan dari mulai daftar visa secara online hingga akhirnya visa disetujui.   

2. Bukti vaksin. Persyaratan untuk masuk negara bagian Victoria adalah visitor harus sudah divaksin minimal dua kali. Orangtua saya sudah divaksin tiga kali, jadi tidak masalah. Jenis vaksin yang mereka gunakan, yaitu Sinovac dan AstraZeneca juga sudah diakui oleh pemerintah Australia. Sedangkan untuk mendapatkan bukti vaksin internasional (berbahas Inggris), orangtua saya dapatkan dari aplikasi PeduliLindungi. 

3. Tiket pesawat pulang pergi. Ini sih, syarat standar ya kalau bepergian ke luar negeri, harus punya bukti tiket pulang dan pergi. Tapi tiket ini dibeli setelah visa mereka disetujui. Jadi saat daftar visa, tidak menunjukkan bukti tiket sama sekali.    

4. Tes PCR atau antigen saat mendarat. Mulai 18 April 2022, Australia tidak meminta lagi bukti tes PCR sebelum keberangkatan pesawat namun untuk yang sudah mendarat di Australia wajib tes PCR atau antigen harus melalui badan kesehatan resmi, tidak boleh tes sendiri. Kedua orangtua saya melakukan tes PCR di HISTOPATH bandara Melbourne. Hasilnya mereka terima dalam waktu sekitar 1,5 jam. Visitor wajib melakukan karantina (tidak bersosialisasi) mandiri dulu selama hasil tes belum keluar. 

5. Mengisi Digital Passenger Declaration (DPD) secara online di link berikut ini. DPD harus diisi dalam waktu 72 jam sebelum keberangkatan pesawat. 

Selain dokumen wajib di atas, dokumen tambahan yang dimiliki orangtua saya adalah asuransi. Mengingat mereka bepergian di masa pandemi dan biaya rumah sakit di Australia super mahal, jadi memiliki asuransi yang bisa meng-cover urusan kesehatan selama mereka di sini tentunya pilihan yang bijak. 

Dokumen-dokumen ini diperiksa oleh petugas check-in Singapore Airlines (maskapai yang mereka gunakan) sementara menurut orangtua saya, dokumen-dokumen ini tidak diperiksa lagi di imigrasi bandara kedatangan Melbourne. Petuga imigrasi hanya menyambut mereka dengan ucapan selamat datang di Australia. 

Yuk, yang ingin jalan-jalan ke Australia, syaratnya tidak sulit, kok :)


Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie

Blog Sebelumnya:
  • Persyaratan Masuk Amerika Serikat Saat Pandemi COVID-19

  • Drama Menginap di 'Gubuk' Saat Pandemi

  • Kebijakan Australia Berubah: Siapkah Saya Hidup Berdampingan dengan COVID-19?

  • My 2021 Highlight: Road Trip di Australia dengan Balita Saat Pandemi COVID-19
  • Road Trip Ballarat: Boleh Tolong Tunjukkan Bukti Vaksinnya?





Setelah hampir dua tahun, akhirnya saya naik pesawat lagi. Kali ini untuk perjalanan bisnis ke Amerika Serikat. Jangan tanya deh, bagaimana khawatirnya saya sebelum terbang. Karena perjalanan saat pandemi sangat jauh berbeda dengan sebelum wabah ini ada. Tapi Alhamdulillah perjalanan saya masuk Amerika Seirkat sangat lancar. Saya mengetik ini dari kamar hotel di Santa Cruz, California, di hari pertama saya tiba di Amerika Serikat. 

Dokumen Perjalanan yang Dibutuhkan

Saya awalnya sempat merasa akan sangat ribet mengurusi berbagai dokumen perjalanan di masa pandemi COVID-19 ini namun ternyata, persyaratan untuk masuk Amerika Serikat saat pandemi COVID-19 tidak susah-susah amat. Hanya butuh hal-hal berikut ini:

1. Paspor + visa. Untungnya paspor saya masih aktif. Saya juga masih punya visa kunjungan Amerika Serikat. Saya membuatnya pada tahun 2019 dan dapat visa untuk kunjungan berkali-kali yang berlaku selama lima tahun.

2. Bukti vaksin. Saya sudah vaksin Pfizer sebanyak tiga kali. Vaksin ini masuk kategori vaksin yang diperbolehkan masuk ke Amerika Serikat. Jadi saya hanya perlu mencetak bukti vaksin saja dari aplikasi medicare Australia saya. 

3. Bukti negatif COVID-19 dengan melakukan tes PCR atau antigen 24 jam sebelum penerbangan. Saya memilih tes PCR di bandara Melbourne sekitar 16,5 jam sebelum penerbangan saya. Hasil tes negatif bisa saya terima dalam bentuk PDF email sekitar 30 menit setelah tes. Sangat cepat! Oh iya, ini tidak bisa dilakukan sendiri ya. Harus melalui badan kesehatan resmi. 

4. Tiket pesawat pulang pergi. Petuga imigrasi bandara kedatangan internasional San Fransisco meminta bukti tiket pulang saya. Untungnya saya sudah cetak semua, sehingga bisa langsung saya tunjukkan saat itu juga. 

Tambahan Dokumen Lainnya

Selain keempat dokumen wajib tersebut, saya juga mempersiapkan dokumen standar travelling pada umumnya, yaitu

5. Asuransi perjalanan. Sebelum masa pandemi, saya selalu siap dengan asuransi perjalanan karena kita tidak pernah tahu apa yang bisa terjadi selama perjalanan kita. Bedanya kali ini, asuransi perjalanan yang saya beli adalah yang juga meng-cover biaya rumah sakit bila saya terkena COVID-19. Meskipun bukan dokumen yang diwajibkan namun saya rasa sangat perlu untuk memiliki asuransi perjalanan. 

6. Bukti akomodasi. Saya mendapat pertanyaan mengenai tempat menginap dari dua orang petugas, yaitu petugas check in di bandara Melbourne dan petugas imigrasi di bandara kedatangan internasional San Fransisco. Saya memang tidak punya bukti bookingan hotel karena semuanya diurus oleh kantor saya tapi saya menunjukkan undangan perjalanan bisnis dari kantor saya yang di dalamnya menyebutkan hotel yang menjadi lokasi kegiatan. 

7. Bukti finansial. Saya sama sekali tidak membawa uang dollar tapi saya membawa kartu ATM dan kartu kredit yang bisa dipakai sewaktu-waktu tentunya. Jadi saat petugas imigrasi bandara internasional San Francisco bertanya berapa uang yang saya bawa, agak bingung juga jawabnya. Jadi saya sebut saja jumlah kira-kira yang ada di rekening bank saya. 

Kesimpulan

Dokumen persyaratan masuk Amerika Serikat saat pandemi sebenarnya tidak jauh berbeda dari sebelum pandemi. Hanya ada dua dokumen tambahan yang diminta, yaitu bukti vaksin dan tes PCR atau antigen yang menunjukkan negatif COVID-19. Tapi sebaiknya selalu periksa kembali semua persyaratan yang dibutuhkan sebelum pergi karena peraturan sering sekali berubah sehingga persyaratan juga bisa berubah setiap saat. 

Saran saya, cek saja persyaratan yang tertera di website maskapai yang akan membawa kita karena mereka cukup update perihal ini. Dan mereja juga yang pertama kali akan mengecek semua persyaratan kita. Jadi kalau saat check in, ada persyaratan yang tidak bisa kita penuhi mereka tidak akan mengizinkan kita terbang. 

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie

Blog Sebelumnya:
  • Drama Menginap di 'Gubuk' Saat Pandemi

  • Kebijakan Australia Berubah: Siapkah Saya Hidup Berdampingan dengan COVID-19?

  • My 2021 Highlight: Road Trip di Australia dengan Balita Saat Pandemi COVID-19
  • Road Trip Ballarat: Boleh Tolong Tunjukkan Bukti Vaksinnya?

  • Senangnya Nemu Boba Kemasan di Australia




Akhir Januari lalu, kami melakukan road trip lagi. Kali ini yang menjadi tujuan adalah Portland, kota tua yang berada di negara bagian Victoria dan berbatasan tepat dengan negara bagian Australia Selatan. Kota ini paduan antara sejarah, alam yang luar biasa cantik dan kenyamanan fasilitas ala kota. Namun bukan itu yang mau saya ceritakan di sini, melainkan drama di penginapan yang kami alami.

Perjalanan dari rumah kami ke Portland harusnya hanya memakan waktu 3,5 jam namun karena kami melakukan perhentian di berbagai kota dan sempat hujan deras yang membuat kami berhenti sejenak demi keamanan diri, total waktu yang ditempuh menjadi delapan jam. Untungnya saat ini sedang musim panas, sehingga ketika kami sampai di penginapan jam 19.00, hari masih terang benderang sehingga memudahkan mobilitas.

Tentang Penginapan

Tempat yang kami sewa berada sekitar 10 menit sebelum kota Portland dan lokasinya juga terisolasi dari tetangga sehingga membuat kami memutuskan ini tempat yang tepat untuk menghindari keramaian. Namun di sisi lain, kami dimanjakan dengan akses ke pantai yang hanya tiga menit jalan kaki dari pagar rumah melalui jalan umum atau lima menit dari pintu rumah dengan melalui akses privat melewati pepohonan dan semak-semak yang membuatnya lebih terasa alami.

Sang pemilik menyebut akomodasi ini "shack" atau dalam bahasa Indonesianya "gubuk". Tentunya tempat ini tidaklah seperti gubuk dalam arti yang sesungguhnya. Karena layaknya rumah, tempat ini ini menyediakan fasilitas yang oke seperti TV, mesin cuci baju, mesin cuci piring, oven, microwave, AC, toaster, berbagai perlengkapan makan dan masak. Lengkaplah, sesuai perlengkapan standar rumah-rumah di Australia. Lalu dari lantai 2, baik itu dari dalam kamar maupun balkoninya kami bisa mendapatkan sedikit pemandangan laut.


Namun ada alasan kenapa mereka menyebut tempat ini gubuk. Bangunan rumah ini mengingatkan saya akan kain perca, yang dibuat dari gabungan-gabungan kain yang berbeda. Nah, tempat ini seperti itu, antar dindingnya seperti menggunakan kayu dan lis kayu yang berbeda yang membuatnya kurang rapi. Gubuk ini dibangun bukan dengan material unggulan namun masih layak huni banget.

Shannon menemukan shack ini di website lokal pemesanan akomodasi. Shack ini tidak ada di pemesanan akomodasi seperti booking.com atau agoda. Cara pesannya juga tidak otomatis. Jadi setelah melakukan booking di situs tersebut, kami harus menunggu sekitar satu hari sampai agensi menghubungi kami dan bisa melakukan transfer.

Saat berkorespondensi dengan sang agen, Shannon mendapat informasi bahwa mereka biasanya mengosongkan rumah satu hari sebelum penyewa yang lain masuk untuk melakukan pembersihan sesuai standar COVID-19. Mendengar ini saya tenang dong, karena berarti prosedur protokol kesehatan dijalankan dengan baik.

Sudahlah lokasi rumah yang jauh dari tetangga dan produser kebersihannya mantap. Okelah, saya jadi bisa tenang untuk bepergian! Karena jujur aja perjalanan kali ini agar bikin parno mengingat kasus COVID-19 yang luar biasa tinggi di sepanjang sejarah Victoria. Baca tentang berubahnya kebijakan Australia dalam menangani kasus COVID-19 di tautan ini.

Kebersihan di penginapan

Namun ketenangan saya langsung terporakporanda begitu kami masuk ke dalam rumah. Karena sofa penuh pasir dan lantai pun ngeres, banyak pasir dan debu. Lalu kamar mandi tercium aroma tak sedap. Saya jadi berpikir, ini sebenarnya mereka sudah membersihkan rumah dari tamu sebelumnya atau belum sih?

Tapi saya lihat kitchen bench bersih, handuk-handuk di kamar mandi pun bersih, dan kompor bersih. Jadi logikanya rumah ini sudah dibersihkan. Tapi kenapa kesannya nggak total membersihkannya?

Aduh kalau cuma perkara lantai ngeres sih, saya bisa dengan sangat mudahnya menyapunya. Toh ruangannya tidak besar. Saya pernah juga ketika liburan ke Bali mendapatkan penginapan dengan lantai ngeres sampai saya harus pinjam sapu ke petugas hotel untuk membersihkan.

Tapi ini bukan perkara nyapunya. Ini membuat saya mempertanyakan apakah mereka sudah melakukan pembersihkan maksimal sesuai standar COVID-19 kalau lantai aja masih kotor. Jadi bikin parno, kan?

Ya daripada hidup nggak tenang kan, akhirnya saya bersihkan ini rumah dan saya minta Shannon menjaga Noah di beranda rumah. Saya sapu lantainya dan saya disinfektan (untungnya tersedia disinfektan di rumah ini) semua permukaan yang terlihat. Mulai dari sofa, kitchen bench, permukaan lemari, microwave, oven, gagang pintu dan pegangan tangga ke lantai dua. Intinya semua yang berpotensi dipegang, saya disinfektan.

Setelah satu jam saya bersih-bersih, saya bilang sama Shannon, "Saya tidak yakin apa yang saya lakukan bisa membunuh virus COVID-19, kalau seandainya ada virus tersebut di rumah ini. Namun satu hal yang pasti, saya mendapatkan ketenangan pikiran." Shannon paham dan merasakan hal yang sama.

Alhamdulillah nggak ada COVID-19

Kami menginap di gubuk tersebut selama 8 malam dan sudah dua minggu sejak kami meninggalkan akomodasi tersebut dan Alhamdulillah kami bertiga sehat dan tidak terkena COVID-19. Itu berarti di penginapan tidak ada virus COVID-19.

Overall gubuk ini nyaman untuk ditempati. Fasilitas untuk hidup sehari-hari lengkap, suasana rumah sangat hijau, akses ke kota dekat dan ke pantai super dekat. Harganya juga tidak terlalu mahal untuk fasilitas satu rumah. Sayang saja, harus sedikit ternoda oleh masalah kebersihan.

Namun ini memberikan kami pelajaran agar jangan langsung percaya dengan apa yang dikatakan pengelola dan amannya memang kita disinfektan sendiri kamar atau rumah yang akan kita sewa. Makan waktu dan capek tenaga tapi bagi saya hal tersebut memberikan ketenangan pikiran. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.

Sepakat?

Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie

Blog Sebelumnya:
  • Kebijakan Australia Berubah: Siapkah Saya Hidup Berdampingan dengan COVID-19?

  • My 2021 Highlight: Road Trip di Australia dengan Balita Saat Pandemi COVID-19
  • Road Trip Ballarat: Boleh Tolong Tunjukkan Bukti Vaksinnya?

  • Senangnya Nemu Boba Kemasan di Australia

  • 6 Tip Travelling Hemat Ini Bisa Jaga Dompet Juga Bumi



Hari ini ada 44.155 kasus COVID-19 baru di negara bagian Victoria, Australia dengan total kasus aktif sebanyak 146.863. Dan angka ini sangat mungkin akan terus meningkat mengingat varian omicron yang memiliki penyebaran luar biasa cepat dan tidak adanya lagi kebijakan lockdown. Lalu siapkah saya hidup berdampingan dengan COVID-19?

Sebelumnya, Australia memiliki strategi "nol kasus COVID-19". Australia melakukan berbagai cara agar si COVID-19 tidak betah lama-lama di negara kanguru ini. Misalnya, Australia melacak dan memburu setiap virus COVID-19 yang ada. Satu orang saja terinfeksi COVID-19, 14 hari ke belakang pergerakan orang tersebut langsung dicek, kemana dia pergi dan bertemu siapa saja. Dan orang-orang yang datang ke tempat yang sama serta orang-orang yang melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi tersebut langsung dites secara gratis. Jadi nggak heran kalau dari satu kasus aja, yang dites bisa ratusan, bahkan ribuan. Sehingga penyebarannya bisa langsung ditekan sebelum bergerak lebih parah. 

Selain itu, untuk tetap membuat Australia "nol kasus COVID-19", perbatasan internasionalnya ditutup serta negara bagian-negara bagian di sini juga sering banget buka tutup lockdown. Bahkan ada lho, hanya satu kasus saja terdeteksi, langsung diputuskan lockdown. Ini terjadi di ibukota Australia, Canberra.   

Melbourne yang merupakan ibu kota negara bagian Victoria, menjadi salah satu kota yang sering menjadi pusat hotspot COVID-19 karenanya nggak heran Melbourne sering lockdown. Namun itu terbukti berhasil mengusir virus dan membuat orang-orangnya bisa merasakan hidup normal untuk sekian waktu, sebelum kembali lockdown. Saking seringnya lockdown, Melbourne sempat menjadi salah satu kota dengan lockdown terlama di dunia. 

Sedangkan untuk saya yang tinggal di regional Victoria, kehidupan lebih nyaman lagi karena bisa dibilang nyaris tidak pernah merasakan lockdown. Pernah ada lockdown tapi tidak lama karena kasusnya juga masih dalam hitungan jari sehingga lockdown cepat berakhir. Jadi saat saya melihat negara-negara lain jumpalitan mengatasi virus ini, saya sempat merasakan bahwa hidup cukup normal meskipun prokes tetap dilakukan. 

Namun itu tinggal sejarah karena kini Australia mengubah strateginya dari "nol kasus COVID-19" menjadi "hidup berdampingan dengan COVID-19". Kebijakan ini sudah terdengar sejak varian delta menyerang. Kecepatan varian ini menularkan, membuat negara ini kesulitan untuk membuatnya menjadi nol kasus. Karena itu pemerintah Australia menggenjot mati-matian tingkat vaksinasi. 

Victoria yang mencapai sekitar 80% tingkat vaksinasi, memutuskan mengangkat lockdown panjangnya sekitar Oktober 2021. Tidak ada lagi pembatasan kilometer perjalanan, tidak ada lagi pembatasan kunjungan ke tempat umum atau rumah seseorang, tidak ada lagi larangan keramaian, dan tidak ada lagi kewajiban memakai masker. Dan sampai saya mengetik ini, Victoria tidak pernah memberlakukan lockdown lagi. 

Perdana Menteri Australia Scott Morrison berkata tidak akan ada lagi lockdown dan kita harus hidup berdampingan dengan COVID-19. Dia tidak khawatir dengan keberadaan omricon karena fasilitas kesehatan masih memadai. Memang sih, omricon ini kecepatan penyebarannya luar biasa namun kabarnya gejalanya tidak separah varian lain dan dengan banyaknya yang sudah divaksinasi, bisa menekan jumlah orang yang harus dirawat di rumah sakit. 

Di satu sisi saya mengerti dengan keputusan ini. Ekonomi harus kembali berjalan. Australia sudah menutup diri nyaris dua tahun karena pandemi, jadi wajar kalau pemerintah harus menggerakkan kembali perekonomian untuk bisa kembali pulih. Dan salah satu caranya adalah dengan menghentikan lockdown tersebut. 

Selain itu, banyak orang yang secara mental mengalami gangguan karena lockdown yang cukup lama. Jadi mungkin dengan tak ada lagi lockdown dapat membuat orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan mental bisa merasa baik kembali. 

Tentu saja kebijakan baru ini membuat saya khawatir. Saya merasa hidup tidak seaman sebelumnya meski saya juga tidak tahu dimana tempat yang saat ini lebih aman dari sini. Karena nyaris semua negara di dunia mengalami problema yang sama.

Tahun lalu, saya bisa road trip karena memang kasus COVID-19-nya tidak banyak, bahkan Australia Selatan dan ACT yang sempat kami kunjungi saat itu, tidak ada kasus COVID-19 sama sekali sehingga membuat saya merasa sedang berada di planet lain. 

Dengan kondisi sekarang ini saya tidak yakin saya bisa melakukan road trip lagi karena bisa dibilang tidak ada lagi negara bagian yang sekarang nol kasus COVID-19. Bahkan Australia Selatan yang sempat kami kunjungi 6 bulan lalu, kasus COVID-19-nya sudah mencapai ribuan kasus per harinya.  

Sebenarnya tidak kemana-mana pun saya masih baik-baik saja karena kami tinggal di dalam hutan dengan pemandangan langsung ke laut lepas. Melihat laut dari balik jendela rumah menjadi kegiatan normal yang baik untuk kesehatan mental saya. Namun nggak enaknya tinggal di destinasi wisata adalah pantai yang biasanya seperti milik pribadi menjadi ramai ketika musim liburan Natal dan Tahun Baru seperti saat ini. 

Apalagi dengan tanpa adanya pembatasan dan lockdown, manusia benar-benar ada di mana-mana. Bahkan saat kami ke supermarket untuk belanja kebutuhan sehari-hari saja, susah cari tempat parkir karena banyaknya turis yang belanja. Untuk beli susu Noah saja, saya jadi parno. Meski untungnya, supermarket tersebut masih mewajibkan semua pengunjung memakai masker.

Saya dan Shannon sendiri memutuskan untuk tetap memakai masker kalau kami pergi ke fasilitas umum meskipun tidak ada lagi kewajiban dari pemerintah. Ini cara kami untuk tetap menjaga diri kami. 

Lalu apakah saya siap hidup berdampingan dengan COVID-19 seperti yang diharapkan Scott Morrison? Jawabannya tidak! Tapi pada kenyataannya, mau tidak mau saya harus menjalaninya. Yang bisa saya lakukan hanyalah tetap menjaga diri saya dan keluarga saya sebaik-baiknya dengan tetap melakukan prokes dan menghindari keramaian sebisa kami dan tentunya banyak berdoa!

Biar bagaimanapun nasib saya ada di tangan Allah SWT. Semoga kita semua tetap ada di dalam lindunganNya. Amin!


Find me at:
Instagram: yanilauwoie
Twitter: yanilauwoie
YouTube: yanilauwoie

Blog Sebelumnya:
  • My 2021 Highlight: Road Trip di Australia dengan Balita Saat Pandemi COVID-19
  • Road Trip Ballarat: Boleh Tolong Tunjukkan Bukti Vaksinnya?

  • Senangnya Nemu Boba Kemasan di Australia

  • 6 Tip Travelling Hemat Ini Bisa Jaga Dompet Juga Bumi

  • Rekomendasi Penginapan Nyaman di Ballarat, Australia: Eureka Views B&B Ballarat

 



Newer Posts Older Posts Home

My Travel Book

My Travel Book
Baca yuk, kisah perjalanan saya di 20 negara!

My Travel Videos

Connect with Me

Total Pageviews

Categories

Amerika Serikat Australia Belanda Belgia Ceko Denmark Hong Kong Indonesia Inggris Irlandia Italia Jepang Jerman Korea Selatan Macau Malaysia Prancis Singapura Skotlandia Spanyol Thailand Vietnam

Blog Archive

  • ►  2025 (4)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2024 (12)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2023 (7)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  April (1)
  • ▼  2022 (6)
    • ▼  October (2)
      • Harga Makanan di New York, Amerika Serikat
      • Deg-degan Ditawarin Ganja di New York!
    • ►  April (1)
      • 5 Syarat Mudah Masuk Australia di Masa Pandemi
    • ►  March (1)
      • Persyaratan Masuk Amerika Serikat Saat Pandemi COV...
    • ►  February (1)
      • Drama Menginap di 'Gubuk' Saat Pandemi
    • ►  January (1)
      • Kebijakan Australia Berubah: Siapkah Saya Hidup Be...
  • ►  2021 (19)
    • ►  December (2)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (2)
    • ►  July (3)
    • ►  June (2)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2020 (4)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2019 (51)
    • ►  December (4)
    • ►  November (3)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (3)
    • ►  June (5)
    • ►  May (4)
    • ►  April (5)
    • ►  March (10)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ►  2018 (30)
    • ►  December (8)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (5)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2017 (60)
    • ►  December (6)
    • ►  November (4)
    • ►  October (5)
    • ►  September (8)
    • ►  August (5)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  May (8)
    • ►  April (9)
    • ►  March (2)
    • ►  February (4)
    • ►  January (4)
  • ►  2016 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (4)
    • ►  August (4)
    • ►  July (1)
    • ►  June (3)
    • ►  May (6)
    • ►  April (5)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
    • ►  January (6)
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (7)
    • ►  November (4)
    • ►  October (3)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (4)
    • ►  June (4)
    • ►  May (6)
    • ►  April (3)
    • ►  March (6)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2014 (51)
    • ►  December (6)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (5)
    • ►  June (3)
    • ►  May (5)
    • ►  April (4)
    • ►  March (5)
    • ►  February (5)
    • ►  January (6)
  • ►  2013 (13)
    • ►  December (5)
    • ►  November (2)
    • ►  October (6)

Search a Best Deal Hotel

Booking.com

Translate

Booking.com

FOLLOW ME @ INSTAGRAM

Most Read

  • 10 Info Tentang Kartu Myki, Alat Bayar Transportasi di Melbourne, Australia
  • 6 Rekomendasi Oleh-oleh dari Edinburgh, Skotlandia dan Kisaran Harganya
  • 8 Tip Naik Tram di Melbourne, Australia
  • My 2018 Highlights

About Me

Hi, I'm Yani. I have 15 years experience working in the media industry. Despite my ability to write various topics, my biggest passion is to write travel stories. By writing travel stories, I combine my two favourite things; travelling and writing. All the content in this blog are mine otherwise is stated. Feel free to contact me if you have questions or collaboration proposal :)

Contact Me

Name

Email *

Message *

Copyright © 2016 My Travel Stories. Created by OddThemes & VineThemes