Akhir Januari lalu, kami melakukan road trip lagi. Kali ini yang menjadi tujuan adalah Portland, kota tua yang berada di negara bagian Victoria dan berbatasan tepat dengan negara bagian Australia Selatan. Kota ini paduan antara sejarah, alam yang luar biasa cantik dan kenyamanan fasilitas ala kota. Namun bukan itu yang mau saya ceritakan di sini, melainkan drama di penginapan yang kami alami.
Perjalanan dari rumah kami ke Portland harusnya hanya memakan waktu 3,5 jam namun karena kami melakukan perhentian di berbagai kota dan sempat hujan deras yang membuat kami berhenti sejenak demi keamanan diri, total waktu yang ditempuh menjadi delapan jam. Untungnya saat ini sedang musim panas, sehingga ketika kami sampai di penginapan jam 19.00, hari masih terang benderang sehingga memudahkan mobilitas.
Tentang Penginapan
Tempat yang kami sewa berada sekitar 10 menit sebelum kota Portland dan lokasinya juga terisolasi dari tetangga sehingga membuat kami memutuskan ini tempat yang tepat untuk menghindari keramaian. Namun di sisi lain, kami dimanjakan dengan akses ke pantai yang hanya tiga menit jalan kaki dari pagar rumah melalui jalan umum atau lima menit dari pintu rumah dengan melalui akses privat melewati pepohonan dan semak-semak yang membuatnya lebih terasa alami.
Sang pemilik menyebut akomodasi ini "shack" atau dalam bahasa Indonesianya "gubuk". Tentunya tempat ini tidaklah seperti gubuk dalam arti yang sesungguhnya. Karena layaknya rumah, tempat ini ini menyediakan fasilitas yang oke seperti TV, mesin cuci baju, mesin cuci piring, oven, microwave, AC, toaster, berbagai perlengkapan makan dan masak. Lengkaplah, sesuai perlengkapan standar rumah-rumah di Australia. Lalu dari lantai 2, baik itu dari dalam kamar maupun balkoninya kami bisa mendapatkan sedikit pemandangan laut.
Namun ada alasan kenapa mereka menyebut tempat ini gubuk. Bangunan rumah ini mengingatkan saya akan kain perca, yang dibuat dari gabungan-gabungan kain yang berbeda. Nah, tempat ini seperti itu, antar dindingnya seperti menggunakan kayu dan lis kayu yang berbeda yang membuatnya kurang rapi. Gubuk ini dibangun bukan dengan material unggulan namun masih layak huni banget.
Shannon menemukan shack ini di website lokal pemesanan akomodasi. Shack ini tidak ada di pemesanan akomodasi seperti booking.com atau agoda. Cara pesannya juga tidak otomatis. Jadi setelah melakukan booking di situs tersebut, kami harus menunggu sekitar satu hari sampai agensi menghubungi kami dan bisa melakukan transfer.
Saat berkorespondensi dengan sang agen, Shannon mendapat informasi bahwa mereka biasanya mengosongkan rumah satu hari sebelum penyewa yang lain masuk untuk melakukan pembersihan sesuai standar COVID-19. Mendengar ini saya tenang dong, karena berarti prosedur protokol kesehatan dijalankan dengan baik.
Sudahlah lokasi rumah yang jauh dari tetangga dan produser kebersihannya mantap. Okelah, saya jadi bisa tenang untuk bepergian! Karena jujur aja perjalanan kali ini agar bikin parno mengingat kasus COVID-19 yang luar biasa tinggi di sepanjang sejarah Victoria. Baca tentang berubahnya kebijakan Australia dalam menangani kasus COVID-19 di tautan ini.
Kebersihan di penginapan
Namun ketenangan saya langsung terporakporanda begitu kami masuk ke dalam rumah. Karena sofa penuh pasir dan lantai pun ngeres, banyak pasir dan debu. Lalu kamar mandi tercium aroma tak sedap. Saya jadi berpikir, ini sebenarnya mereka sudah membersihkan rumah dari tamu sebelumnya atau belum sih?
Tapi saya lihat kitchen bench bersih, handuk-handuk di kamar mandi pun bersih, dan kompor bersih. Jadi logikanya rumah ini sudah dibersihkan. Tapi kenapa kesannya nggak total membersihkannya?
Aduh kalau cuma perkara lantai ngeres sih, saya bisa dengan sangat mudahnya menyapunya. Toh ruangannya tidak besar. Saya pernah juga ketika liburan ke Bali mendapatkan penginapan dengan lantai ngeres sampai saya harus pinjam sapu ke petugas hotel untuk membersihkan.
Tapi ini bukan perkara nyapunya. Ini membuat saya mempertanyakan apakah mereka sudah melakukan pembersihkan maksimal sesuai standar COVID-19 kalau lantai aja masih kotor. Jadi bikin parno, kan?
Ya daripada hidup nggak tenang kan, akhirnya saya bersihkan ini rumah dan saya minta Shannon menjaga Noah di beranda rumah. Saya sapu lantainya dan saya disinfektan (untungnya tersedia disinfektan di rumah ini) semua permukaan yang terlihat. Mulai dari sofa, kitchen bench, permukaan lemari, microwave, oven, gagang pintu dan pegangan tangga ke lantai dua. Intinya semua yang berpotensi dipegang, saya disinfektan.
Setelah satu jam saya bersih-bersih, saya bilang sama Shannon, "Saya tidak yakin apa yang saya lakukan bisa membunuh virus COVID-19, kalau seandainya ada virus tersebut di rumah ini. Namun satu hal yang pasti, saya mendapatkan ketenangan pikiran." Shannon paham dan merasakan hal yang sama.
Alhamdulillah nggak ada COVID-19
Kami menginap di gubuk tersebut selama 8 malam dan sudah dua minggu sejak kami meninggalkan akomodasi tersebut dan Alhamdulillah kami bertiga sehat dan tidak terkena COVID-19. Itu berarti di penginapan tidak ada virus COVID-19.
Overall gubuk ini nyaman untuk ditempati. Fasilitas untuk hidup sehari-hari lengkap, suasana rumah sangat hijau, akses ke kota dekat dan ke pantai super dekat. Harganya juga tidak terlalu mahal untuk fasilitas satu rumah. Sayang saja, harus sedikit ternoda oleh masalah kebersihan.
Namun ini memberikan kami pelajaran agar jangan langsung percaya dengan apa yang dikatakan pengelola dan amannya memang kita disinfektan sendiri kamar atau rumah yang akan kita sewa. Makan waktu dan capek tenaga tapi bagi saya hal tersebut memberikan ketenangan pikiran. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Sepakat?